Seminggu telah berlalu sejak Mas Reno mengucap cerai terhadapku dan selama itu pula ia tidak pernah mencemaskan keadaanku. Ia benar-benar membuangku dan tidak peduli lagi. Padahal saat itu, aku tengah tidak sadarkan diri saat Ayah membawaku. Tidakkah ia merasa iba sedikit pun? Atau ingin tau apakah aku masih hidup atau tidak.
Kenapa masih terus mempertanyakan jika jawabannya tetap sama, Shafa? Ia tidak benar-benar mencintaimu dan ia hanya ingin balas dendam. Berhenti memikirkannya! Aku mengingatkan diri.
"Kakak, kok belum pake sepatunya?" Pertanyaan Shofia membuyarkan lamunanku.
"Eh, apa?" Aku tergagap lalu melihat kedua adikku sudah rapi dan siap berangkat.
Sehabis subuh, si Bungsu mengajak berolahraga. Katanya biar fresh. Entah apa maksudnya. Mungkin karena melihat wajahku yang selalu kusut setiap hari, ia berpikir aku kurang olahraga.
"Sepatunya, kenapa belum dipake? Keburu panas ini," omelnya lagi.
Aku menatap sepatu yang memang belum terpakai. "Oh. Maaf-maaf ...," ujarku sambil mempertunjukkan gigi alias nyengir, lalu bergegas memakai sepatu sebelum Shofia semakin kesal.
"His!" Shofia cemberut.
"Udah, sih, ih." Syifa mengingatkan.
"Ayok!" ajakku setelah selesai memakai sepatu. Shofia langsung semringah, sedangkan Syifa hanya tersenyum kecil.
"Let's goooo!" teriak Shofia semangat.
Aku menggeleng kecil melihatnya. Tingkah Shofia mampu mengalihkan pikiran yang tiba-tiba teringat pada Mas Reno.
"Eh tunggu dulu!" Ibu berteriak dan seketika menghentikan langkah kami bertiga.
"Ih, Ibu ... apalagi?" Shofia merespon dengan cemberut.
"Nanti kalau sudah selesai larinya, sekalian ke warung Bude Imah beliin ini." Ibu menyerahkan daftar belanjaan dan Syifa menerimanya.
"Siap, Bu." Lekas Shofia menyahut. Tidak sabaran sekali gadis remaja itu.
"Kok kakak curiga ya sama Shofi," ucapku iseng.
"Curiga apa, sih?" Yang dicurigai langsung menyahut.
"Syifa ngerasa gitu gak?" Aku mengabaikan Shofia dan memilih menanyai pendapat Syifa.
"Ih, apaan sih. Curiga curiga gak jelas," sambar Shofia kesal kemudian mendahuluiku dan Syifa sambil menghentak-hentakkan kakinya.
"Kakak iseng banget. Kasian itu," kata Syifa geleng-geleng.
"Habis semangat banget olahraga. Kayak mau ngejar sesuatu aja," sahutku.
"Katanya, dia mau punya tubuh ramping kayak Kakak, makanya semangat olahraga. Kakak gak liat, badannya mulai ngembang gitu," jelas Syifa kemudian mulai berlari mengejar Shofia. "Ayok, Kak!" Syifa sedikit berteriak.
Aku mengangguk. Benar. Shofia memang agak gemukan sekarang. Mungkin faktor hormon ditambah lagi anaknya kelewat doyan makan.
"Kakak, ayok!" Kali ini Shofia yang memanggil. Aku pun berlari ke arah keduanya.
"Kita mau ke mana, nih? Lapangan atau keliling komplek saja?" tanya Syifa.
Shofia menoleh padaku, meminta pendapat. "Kemana, Kak?" ujarnya.
Aku berpikir sejenak. Lapangan sepertinya boleh juga.
"Lapangan aja, deh," usulku dan dijawabi anggukan oleh keduanya.
Jika keliling komplek, aku takut ketemu Mas Reno. Meski sangat tidak mungkin, sebab dulu mungkin hanyalah sebuah kebetulan yang direncanakannya. Rumah Mas Reno pun cukup jauh dari sini, hampir satu jam jika ditempuh menggunakan motor. Lagian, ia sudah tidak punya kepentingan lagi, untuk apa ke sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
RETAK
RandomPerkataan orang-orang bahwa Ayah adalah cinta pertama anak perempuannya sepertinya keliru, sebab bagi Shafa sosok ayah adalah lelaki yang pertama kali mematahkan hatinya sampai berkali-kali.