Bab 34

1.1K 64 10
                                    

"Ibu ... Syifa harus bagaimana sekarang," isak Syifa dalam pelukan ibunya. Melihat Shafa pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun membuatnya merasa seperti menjadi terdakwa.

Ia tidak menduga jika Shafa akan semarah itu padanya. Ia yang bermaksud meringankan beban Shafa malah berujung memberi rasa kecewa teramat besar dalam hati sang kakak. Memang apa salahnya meminta tolong pada ayahnya. Ia hanya meminta tolong, tidak lebih, tapi seakan-akan ia telah melakukan kesalahan besar dan tidak termaafkan. Apakah Shafa terlalu berlebihan? Ia sendiri tidak tau.

Aisyah menenangkan Syifa yang dilanda cemas. Ia juga sebenarnya tidak mengira Shafa akan semarah itu. Ia pikir, dengan menyuruh Syifa meminta maaf, Shafa akan luluh hatinya dan putri bungsu dan sulungnya itu kembali berbaikan seperti semula. Namun, ia salah.  Putri sulungnya itu ternyata teramat kecewa pada sang ayah, hingga bantuan lelaki itu menjadi seperti sebuah kesalahan untuknya dan tidak dapat ia terima.

"Kamu tenang dulu, ya, Nak. Nanti ibu akan bicara dengan Kakak," kata Aisyah menenangkan.

Ia merasa serba salah. Ia tidak tau harus berpihak pada siapa. Ada hati Shafa yang dibalut kecewa yang harus ia jaga. Dan hati Syifa yang rapuh pun tidak ingin ia abaikan. Ia tidak ingin salah satu putrinya merasa dibeda-bedakan.

"Syifa gak akan bisa tenang sebelum Kak Shafa maafin Syifa, Bu" aku gadis  dengan wajah seteduh malam tersebut.

"Biarkan Kakak menenangkan diri dulu. Untuk saat ini, Kak Shafa butuh sendiri dan merenung. Nanti setelah keadaan mulai membaik, Ibu akan bicara, ya," ujarnya lagi.

"Tapi, Bu ... Syifa benar-benar khawatir. Syifa tidak bermaksud menyakiti Kak Shafa. Syifa hanya berusaha untuk meringankan beban Ibu dan Kakak. Tidak lebih, Bu," Syifa kembali menjelaskan penyebab ia nekat menghubungi sang ayah.

Ia menatap Aisyah dengan wajah memelas.

"Ibu mengerti. Tapi Kak Shafa sedikit kecewa karena hal itu," jelas Aisyah.

Syifa semakin terisak dalam pelukan ibunya.

"Syifa, boleh tidak ibu meminta sesuatu?" ujar Aisyah dan menghentikan isakan Syifa seketika.

"Ada apa, Bu?" sahutnya pelan.

"Tolong untuk saat ini, jangan menghubungi Ayah dulu, ya, Nak," pintanya lembut agar putrinya itu tidak sampai merasa seakan-akan ia lebih membela Shafa. Ia hanya tidak ingin, kejadian hari ini sampai terulang kembali. Ia tidak ingin kedua putrinya berjarak apalagi sampai bermusuhan.

Syifa menatap sendu ibunya. Apakah impiannya untuk melihat sang ibu dan ayahnya kembali seperti dulu tidak akan pernah tercapai. Ya, sampai detik ini, ia masih menyimpan harap pada sang pencipta untuk berbaik hati pada keluarganya dengan menyatukan kembali ayah dan ibunya. Ia masih berharap Tuhan melembutkan hati kakaknya dan mau memaafkan sang ayah. Ia tidak pernah benar-benar ridho dengan perpisahan kedua orang tuanya.

Meski ia tau kesalahan ayahnya amatlah besar, tapi ia tidak pernah menginginkan perpisahan di antara kedua orang tuanya terjadi. Ia bukan tidak peduli pada hati ibunya yang sering tersakiti. Ia juga tidak ingin membela sang ayah kerap kali bersikap seolah-olah ibunya tidak punya hati hingga terus saja menabur luka. Hanya saja menurutnya, perpisahan adalah sesuatu yang amat sangat kejam. Ia tidak menyukai itu. Ia lebih menginginkan sang ayah menyadari kesalahannya dan memperbaiki keadaan hingga tidak ada perpisahan. Lalu mereka kembali hidup bahagia seperti dahulu.

Namun semua itu hanya impian semata. Sepertinya sudah tidak ada jalan lagi bagi Aisyah dan Bayu untuk kembali. Dan Syifa harus mengubur dalam-dalam impian itu.

"Syifa tidak berani berjanji, Bu. Maafkan Syifa," jawabnya seraya menatap penuh permohonan pada sang ibu. "Tapi Syifa akan berusaha," lanjut gadis itu menunduk saat mendapati ekspresi kecewa ibunya.

RETAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang