Bab 18

757 40 2
                                    

Assalamualaikum, Dear❤️
Terima kasih banyak sudah mengikuti kisah Shafa sejauh ini. Jangan bosan, ya dan setelah membaca boleh lah tinggalin jejak vote dan komennya.

Jangan lupa follow akun NajwaBella998 juga, ya. Happy reading dan love kalian banyak-banyak ❤️❤️

💕💕💕💕

Seperti kesepakatan sebelumnya, malam ini aku mengajak Ayah mengobrol dengan ditemani Ibu. Saat ini, gazebo yang terletak di halaman belakang menjadi pilihan. Kedua adikku telah diperingatkan untuk tidak mengikuti pembicaraan ini. Dan mungkin sekarang mereka tengah belajar atau mungkin sudah tidur.

"Ya sudah, Ibu buatin kopi buat Ayah dulu, ya." Ucapan Ibu memutus keheningan diantara kami setelah hampir sepuluh menit saling diam. Aku mengangguk, begitu pula Ayah.

Ayah berdehem, mengalihkan fokusku yang tengah memandangi kepergian Ibu. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa gugup.

"Sini, tadi kata Ibu, ada yang mau Shafa bicarakan?" Ayah menyuruhku mendekat.

Aku mengangguk dan segera beringsut mendekat, tepat di sebelah kanan Ayah. Ayah tersenyum dan mengelus kepalaku sebentar.

"Kenapa memilih diam, Nak?" tanyanya lembut membuat rasa gugup semakin merajai. Pertanyaan sederhana, tapi mampu membuat hatiku ketar-ketir.

Aku menunduk tidak berani menoleh pada Ayah.

"Kenapa, Nak?" Ayah kembali bertanya sebab aku tidak jua kunjung bersuara.

Aku semakin menunduk dalam. Tangan saling meremas akibat rasa gugup yang sedari tadi menguasai.

"Shafa ...," ucapku lirih. Namun setelahnya, bibirku seperti terkunci.

Allah, kenapa berat sekali menggerakkan bibir ini. Padahal sejak tadi, aku sudah mempersiapkan diri, merangkai kata-kata yang pas untuk aku utarakan. Namun kini, rangkaian kata-kata itu seolah-olah menguap entah ke mana.

Aku mengalihkan pandangan ke arah pintu dapur yang terbuka, melongokkan pandangan ke dalam apakah sudah ada tanda-tanda Ibu akan datang, tetapi nihil. Jika sudah seperti ini, aku benar-benar butuh Ibu untuk membantuku menjelaskan.

"Ya, kenapa, Shafa?" ucapan Ayah sedikit mengejutkanku. Aku kembali tersadar dan kembali mengalihkan fokus pada Ayah. "Kenapa, Nak?" tanyanya lagi dan terdengar menuntut.

Aku tau sebenarnya Ibu pasti sudah bercerita, tapi mungkin Ayah ingin mendengar langsung dariku. Aku memejamkan mata sejenak, lalu menarik napas dan mengembuskannya secara perlahan.

Bismillah ...

"Maafkan Shafa, Yah. Shafa benar-benar minta maaf." Akhirnya aku mulai bersuara bertepatan dengan langkah Ibu yang semakin dekat.

Ibu tersenyum dan menyerahkan segelas kopi pada Ayah. Ayah menerima dan setelahnya mengucap terima kasih. Ibu kembali tersenyum, jawaban atas ucapan terima kasih Ayah, lalu mendaratkan bobot tubuhnya di sebelahku. Kini aku berada di antara Ayah dan Ibu.

Ibu menatapku sebentar kemudian mengangguk, seolah mengatakan semua akan baik-baik saja. Seperti mendapat kekuatan, aku pun mulai mengisahkan kejadian tadi siang saat bersama Ibu.

Ekspresi wajah Ayah tidak berbeda jauh dari ekspresi Ibu tadi siang. Ada guratan kecewa di raut wajah itu.

"Lalu, selama apa waktu yang akan kamu butuhkan, Nak?" tanya Ayah setelah aku selesai menceritakan.

Persis pertanyaan Ibu tadi.
Namun, Ayah terlihat lebih tenang, tidak seperti Ibu yang terlihat sangat menuntut. Mungkin karena sedikit banyaknya Ibu telah menjelaskan dan meminta Ayah agar bersikap tenang.

RETAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang