Kenapa harus serumit ini, ya Tuhan ...
Aku kembali sesenggukan. Rumah tanggaku bahkan belum seumur jagung, tetapi sudah dihantam badai sebesar ini. Akankah semuanya sudah benar-benar berakhir?
Aku menepuk-nepuk dada, berharap sesak yang tengah membelenggu ini sedikit berkurang, tetapi seakan-akan sia-sia. Hatiku rasanya semakin sakit.
Entah sudah berapa banyak air mata yang telah meluncur bebas melewati pipi, aku sudah tidak peduli. Kenyataan ini rasanya lebih menyakitkan dari penghianatan Ayah. Dulu, saat Ayah khilaf, aku masih bisa menunjukkan rasa sakit itu. Namun kali ini, aku seolah tidak punya pilihan.
Tuhan ...
Ini amat sakit! Sakit sekali.
Aku terus merutuk, lalu memejamkan mata dan memeluk diri sendiri.
Aku kuat, aku kuat!
Terus meyakinkan diri, bahwa semuanya akan baik-baik saja, meski kenyataannya hati sangat kalut.
Tok tok tok!
Ketukan di pintu menyadarkan aku dari lamunan. Belum sempat aku berucap untuk bertanya siapa yang akan masuk, suara Syifa sudah terdengar.
"Kakak? Boleh Syifa masuk?" ucapnya.
Buru-buru aku menghapus jejak-jejak air mata di pipi. "Masuk aja, Dek. Pintunya gak dikunci," sahutku lalu bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka.
Wajahku pasti sangat menyedihkan sekarang, dan aku tidak ingin adikku melihatnya.
"Kak? Kakak di dalam?" panggil Syifa lagi sambil mengetuk pintu kamar mandi.
"Iya. Sebentar, ya, Dek." Aku menjawab sedikit mengeraskan suara agar Syifa mendengarnya.
Beberapa menit berlalu, aku masih tetap berdiam diri dengan tatapan kosong. Ah, tidak, lebih tepatnya menatap sosok perempuan yang terlihat menyedihkan di depan cermin. Hidung memerah, kelopak mata sedikit bengkak, penampilan kacau. Miris!
"Kakak?" Syifa kembali memanggil sebab aku tidak kunjung keluar.
Entah sudah berapa menit telah berlalu. Namun, rasanya enggan sekali menemui Syifa dengan keadaan semenyedihkan ini.
"Kakak? Kakak baik-baik saja 'kan?"
Aku menghela napas. Tidak ingin Syifa khawatir atau berpikir macam-macam. "Iya, bentar, ya," sahutku kemudian mencuci muka.
Namun, setelah membersihkan wajah pun, nyatanya penampilan sosok perempuan di depan cermin itu tetap saja masih terlihat kacau.
Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas, pelan. Berharap beban yang tengah menghimpit, sedikit berkurang. Aku pun keluar dari kamar mandi. Saat pintu terkuak, aku sudah mendapati Syifa duduk di bibir ranjang dengan tersenyum. Namun, sedetik kemudian, senyuman itu meredup saat ia bersitatap denganku. Entah apa yang ia pikirkan.
Aku balas tersenyum, meski mungkin sangat keliatan kontras dengan wajah yang sembab.
"Kakak ...." Syifa langsung menubruk tubuhku saat langkahku menuju ke arahnya.
"Apa kabar, Sayang ...?" ucapku lalu membalas pelukannya. Mati-matian aku berusaha menormalkan suara agar tidak bergetar, tetapi lagi-lagi percuma. Hal itu membuat Syifa merenggangkan pelukan. Ia mendongak.
"Ada apa, Kak? Kenapa seperti habis menangis?" tanyanya terus memperhatikan wajahku.
Aku membuang muka, menghindari tatapannya.
"Ada apa, Kak?" Syifa menarik wajahku agar tetap menghadapnya.
Aku hampir kembali menangis mendengar pertanyaan Syifa, tetapi sekuat tenaga aku tahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
RETAK
RandomPerkataan orang-orang bahwa Ayah adalah cinta pertama anak perempuannya sepertinya keliru, sebab bagi Shafa sosok ayah adalah lelaki yang pertama kali mematahkan hatinya sampai berkali-kali.