Bayu serasa ingin mati saja saat mendengar kenyataan pahit yang diungkapkan putrinya. Benarkah Shafa diceraikan Reno karena ingin balas dendam padanya?
Lelaki itu mendadak kehilangan tenaga, apalagi setelah melihat kehancuran di mata putrinya akibat dari keegoisannya.
"Ibu, biarkan saya mengejarnya. Kaki Shafa sedang terluka," pintanya pada sang ibu yang berusaha menahan langkahnya agar tidak mengejar putrinya yang semakin menjauh.
"Tidak bisa, Bayu. Tamu-tamu sebentar lagi akan datang dan mereka pasti akan menanyakanmu," kata wanita yang dipanggil ibu itu.
Bayu terus mengiba. Namun ia tetap tidak bisa meninggalkan rumah ibunya. Ia hanya memandangi nanar jejak darah dari kaki Shafa yang terluka. Ah, bahkan luka di hati putri sulungnya itu jauh lebih hebat.
Lelaki itu meraup wajahnya gusar. Ia merasa sepertinya kali ini akan terjadi sesuatu yang besar melihat kekecewaan yang teramat di mata putrinya.
Selama acara empat bulanan istrinya, lelaki itu benar-benar tidak tenang. Ia terus teringat kata-kata Shafa. Kali ini ia benar-benar dihantui rasa bersalah bahkan sedikit rasa menyesal menghampiri.
Acara syukuran kehamilan istrinya akhirnya selesai tanpa kendala sedikit pun. Hanya saja hatinya benar-benar tidak baik-baik saja. Pikirannya selalu tertuju pada istri pertama dan ketiga putrinya. Apa yang mereka lakukan saat ini. Baik-baik sajakah mereka?
"Bu, sepertinya saya harus pulang. Saya benar-benar tidak tenang. Kepikiran Shafa terus," kata Bayu akhirnya setelah sejak tadi berperang dengan hatinya.
Sang ibu hanya mengangguk pasrah. Bayu bergegas menuju garasi di mana mobilnya terparkir. Ia baru saja hendak menyalakan mesin bersamaan dengan jeritan keras seseorang terdengar dari dalam rumah. Lelaki bergelar ayah itu mengurungkan niatnya dan kembali memasuki rumah.
"Ya Allah, Ratna ... Ibu kenapa?" tanyanya panik melihat ibunya tidak sadarkan diri.
"Aku tidak tau, Mas. Ibu tiba-tiba saja pingsan dan membuatku takut," jelas wanita yang dipanggil Ratna itu.
Tanpa banyak bertanya lagi, Bayu membopong tubuh yang mulai renta itu. Serangan jantung ibunya mungkin tengah kambuh dan ia harus segera membawanya ke rumah sakit agar cepat ditangani. Tujuannya yang semula akan pulang ke rumahnya kini menjadi rumah sakit. Ia tidak mungkin membiarkan Ibunya sendirian . Meski hatinya terus menuntut agar pulang, tapi ibunya jauh lebih membutuhkannya. Mungkin besok ia akan menemui istri dan ketiga anaknya untuk bicara dari hati ke hati.
***
Keadaan Bu Ani--ibunya Bayu kini mulai membaik. Lelaki itu pun memutuskan untuk pulang dan menitipkan ibunya pada Ratna, istri keduanya.
Ia harus segera menemui Shafa dan meminta penjelasan. Jika benar apa yang dikatakan putrinya, maka ia benar-benar tidak tau harus seperti apa lagi. Pantas saja selama ini Shafa memilih diam, rupanya putrinya itu tidak ingin membuatnya merasa bersalah.
"Ya Tuhan ... apa yang sudah kulakukan?" rutuknya, marah pada diri sendiri.
Kini Bayu sangat-sangat merasa menyesal. Ia berharap setelah ini masih bisa memperbaiki kehancuran di hati putrinya. Tanpa ia tau jika keputusan besar telah diambil oleh Shafa.
Dengan perasaan tidak menentu, Bayu mengetuk pintu rumahnya. Sudah di ketukan ketiga, tetapi pintu itu tidak kunjung terbuka. Hingga wajah Bibik yang sepertinya habis dari pasar tertangkap penglihatannya. Bayu bergegas menghampiri.
"Ba-bapak?" Bibik begitu terkejut melihat sosok di depannya. Kantong belanjaan yang berada di tangannya terjatuh dan kini isinya berserakan ke mana-mana.
"Bik, ada apa?" Bayu tampak khawatir melihat asisten rumah tangganya seperti terkejut.
"Ba-bapak?" Bibik kembali tergagap.
" Ada apa, Bik? kenapa pintunya dikunci? Ibu dan anak-anak ke mana?" tanya Bayu mulai cemas.
Tidak! Ia terus berusaha berpikir positif. Tidak mungkin Aisyah bisa melakukan sesuatu yang mengecewakannya. Ya, ia paham betul seperti apa istrinya itu.
"I-ibu ...." Wanita separuh baya itu masih tergagap.
"Ibu ke mana, Bik?" desak Bayu. Hatinya kini sudah tidak bisa tenang lagi, seperti yang coba ia lakukan.
"Ibu dan anak-anak sudah pergi, Pak." Bibik menunduk tajam setelah mengatakan semuanya.
"Ya Tuhan ...." Bayu hampir saja terjatuh kalau saja Pak Ahmad tidak segera menahan tubuhnya.
"Bapak baik-baik saja?"
Pertanyaan bodoh itu meluncur begitu saja dari lisan Pak Ahmad. Sudah jelas keadaan majikannya itu terlihat buruk, ia masih bertanya.
"Pak Ahmad, sebaiknya Bapak dibawa masuk dulu," kata Bibik.
Pak Ahmad mengangguk dan menuntun tubuh yang kini kehilangan tenaga itu.
Bibik buru-buru menyusul dan bergegas ke dapur untuk mengambil air putih.
"Ini, Pak. Minum dulu." Wanita separuh baya itu mengulurkan gelas yang sudah ia isi air minum.
Tangan Bayu terulur, menerima gelas yang disodorkan Bibik. Ia membawa gelas itu ke bibirnya dan meminum isinya hingga tandas. Kenyataan yang baru saja ia dengar membuatnya seperti kehilangan cairan di dalam tubuhnya dan ia butuh air untuk memenuhi kembali cairan yang hilang itu.
"Kapan mereka pergi, Bik?" tanya Bayu menatap Bibik yang terlihat ragu dan takut. "Bik!" Nada suara Bayu semakin meninggi dan semakin membuat Bibik kehilangan nyali.
"Se-semalam, Pak," sahut Bibik akhirnya.
"Ya Tuhan ...!" Bayu kembali meraup wajah kasar. "Kenapa tidak mencegahnya, Bik!" ucapnya setengah berteriak.
Andai saja semalam ia tetap memantapkan hatinya untuk pulang, maka kejadian ini tidak akan terjadi. Andai saja ia menyerahkan ibunya pada Ratna, mungkin Aisyah dan ketiga putrinya masih di sini. Ah, penyesalan memang selalu datang belakangan.
Ia beranjak dan memeriksa semua kamar. Benar. Lemari-lemari tempat ketiga putrinya menyimpan pakaian nyaris kosong. Begitu juga dengan lemari istrinya. Ia menendang lemari di depannya, hingga kaca yang membingkai lemari itu hancur. Dan hal itu kembali mengingatkannya pada ucapan Shafa.
"Lihat, Ayah. Seperti inilah hati Shafa saat ini."
Ucapan Shafa terus berdengung di telinganya. Lelaki itu menggeleng seraya menutup telinga.
"Tidak! Tidakkk ...!" teriaknya seiring tubuhnya yang merosot ke lantai.
Ia beringsut mengambil bingkai foto yang di dalamnya terdapat gambar dirinya, istrinya, dan ketiga putrinya sedang tersenyum bahagia. Ia memeluk erat bingkai foto itu, menumpahkan segala penyesalannya di sana. Foto itu diambil saat pernikahan Shafa dulu. Di mana kebahagiaan mulai kembali hadir setelah Shafa cukup lama menutup diri dan menjauh darinya. Dan kini, akankah saat-saat itu kembali lagi, setelah penghianatan kembali ia hadirkan.
"Ya Allah, Bapak ...." Bibik masuk ke kamar dan ingin membantu Bayu.
"Biarkan saja, Bik. Biarkan ...," kata Bayu lemah mencegah Bibik untuk mendekat.
"Tapi, Pak." Bibik kian khawatir.
"Ibu tidak mengatakan akan pergi ke mana?" Lelaki yang tengah dirundung penyesalan itu bertanya.
Bibik menggeleng sebagai jawaban membuat Bayu putus asa. Ke mana ia akan mencari istri dan ketiga putrinya. Ah, mengingat ketiga putrinya lagi-lagi membuat hatinya bagai diremas tangan tidak kasat mata. Shafa benar. Ia terlalu terobsesi mencari anak lelaki, hingga gelap mata dan tidak peduli ada banyak hati yang akan tersakiti karenanya.
Kini lelaki itu hanya bisa merasakan penyesalan yang teramat. Ia terlalu yakin jika Aisyah masih akan kembali memaafkan dan dapat membujuk serta menenangkan si Sulung Shafa. Namun ... harapannya tidak terkabul. Dan mungkin inilah salah satu cara Tuhan menegurnya.
.
.
Bersambung ...
Jangan lupa vote dan komen, ya, Dear ❤️🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
RETAK
RandomPerkataan orang-orang bahwa Ayah adalah cinta pertama anak perempuannya sepertinya keliru, sebab bagi Shafa sosok ayah adalah lelaki yang pertama kali mematahkan hatinya sampai berkali-kali.