"Kita akan ke mana, Nak?" Aisyah bertanya saat taksi yang akan membawa mereka sudah mulai melaju.
"Mungkin malam ini, kita nginep di hotel dulu, ya, Bu," jawab Shafa seraya memandang ibunya.
"Tapi, Nak ... kita kan harus berhemat," balas Aisya tidak setuju.
"Kita cari hotel yang murah, Bu. Untuk malam ini saja. Besok setelah sarapan, kita lanjutkan perjalanan kita. Mungkin kita ke rumah Nenek dulu. Minta maaf dan mohon doa restu Nenek."
Aisyah tertegun mendengar penjelasan putrinya. Sudah hampir empat tahun ia tidak menginjakkan kaki di rumah ibunya dan wanita itu bahkan sudah tidak menganggapnya anak karena kecewa padanya.
Shafa dapat menangkap kerisauan di mata ibunya. "Ibu tenang, ya. Nenek pasti menerima kita. Nenek pasti memaafkan Ibu," ujarnya.
"Tapi ... Nenekmu sudah mengusir Ibu. Nenek bahkan mengatakan bahwa Ibu bukan putrinya lagi," cicit Aisyah pilu.
Ia kembali teringat kejadian lebih dari empat tahun lalu, saat ibunya begitu marah melihatnya tetap memilih bertahan setelah berkali-kali dikhianati suaminya. Ibunya teramat kecewa saat itu dan kali ini, apakah ibunya akan menerimanya apalagi setelah mendengar alasan yang sama.
Aisyah gamang. Namun, ia juga sudah terlalu lama membiarkan keretakan diantara ia dan ibunya. Sebelum semuanya terlambat, ia harus memperbaiki. Bisa saja esok ibunya tiada, atau bahkan dirinya yang lebih dulu meninggalkan tanpa sempat memohon maaf.
Shafa menggenggam tangan ibunya, menyalurkan kekuatan. "Ibu percaya Shafa, kan?" tanyanya.
Aisyah mengangguk.
"Shafa yakin, Nenek hanya menumpahkan setiap kemarahannya waktu itu. Nenek tidak benar-benar marah. Beliau hanya kecewa dan tidak dapat menahan diri hingga ucapan yang Shafa yakin tidak dari hatinya itu terucap, seperti yang selalu Ibu lakukan pada kami saat melakukan kesalahan," papar Shafa.
Gadis keras kepala itu kembali meyakinkan sang Ibu. Aisyah menarik napas dalam. Benarkah begitu? Pikirnya. Seorang ibu memang tidak bisa benar-benar marah pada anaknya. Jika marah pun, hanya sebentar. Setelahnya, bahkan ia akan menyesali setiap amarah yang ada pada dirinya.
'Semoga saja begitu. Nenekmu tidak benar-benar marah dan kali ini beliau mau menerima dan memaafkan setiap kesalahan yang Ibu lakukan.' Aisyah membatin penuh harap.
Dua taksi yang mengantar keluarga Shafa akhirnya sampai pada hotel yang mereka tuju. Seperti kesepakatan sebelumnya, mereka akan menginap di hotel dulu baru melanjutkan perjalanan. Mereka hanya memesan satu kamar, agar tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya.
***
Pukul delapan pagi, keluarga Shafa meninggalkan hotel. Langkah mereka kali ini menuju terminal bus dan akan menuju rumah Nenek, ibu dari ibunya.
Shafa bisa melihat dengan jelas, ada banyak kekhawatiran di dalam sorot mata sang ibu dan ia terus berusaha meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Setelah hampir enam jam perjalanan, mereka sampai ke desa sang ibu. Shafa kembali meraih tangan ibunya yang sudah berkeringat dingin. Shafa mengangguk, kembali meyakinkan Ibunya.
"Shofi ketuk pintu, ya," ujarnya pada Shofia.
Gadis yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas itu mengangguk dan melakukan perintah kakaknya. Di ketukan kedua, pintu itu akhirnya terkuak. Menampilkan wajah renta yang teramat Aisyah rindukan.
"Ibu ...," gumam Aisya lirih, nyaris berbisik hingga mungkin hanya ia saja yang dapat mendengar gumaman itu.
"Ka-kalian?" Wajah Nek Irma dipenuhi raut keterkejutan. Ia akan menutup kembali pintu itu, tapi Shafa buru-buru tersadar dan menahan pintu itu agar tidak sampai tertutup. Jelas saja kekuatan Nek Irma kalah dengan Shafa.
KAMU SEDANG MEMBACA
RETAK
RandomPerkataan orang-orang bahwa Ayah adalah cinta pertama anak perempuannya sepertinya keliru, sebab bagi Shafa sosok ayah adalah lelaki yang pertama kali mematahkan hatinya sampai berkali-kali.