Aku sampai ke rumah hampir pukul sepuluh malam dan wajah Ibu yang teramat cemas seketika menyambut kedatanganku.
"Ya Allah, anakku ...." Ibu langsung menarik tubuhku untuk ia peluk. "Kamu dari mana saja, Nak? Ibu hampir tidak bisa bernapas menunggumu," raung Ibu.
Aku menggigit bibir. Rasa bersalah seketika menggulung dalam hati. "Maafkan Shafa, Bu," ujarku.
Ibu menggeleng. "Tidak papa, Nak. Sekarang kamu sudah pulang dalam keadaan baik-baik saja itu sudah cukup. Ayo masuk, Sayang." Ibu menuntunku agar masuk.
"Aw!" Aku meringis karena kakiku tiba-tiba terasa perih sebab dipaksa berjalan.
"Eh, kenapa, Nak?" Ibu memperhatikan wajahku kemudian turun ke kaki. "Ya Allah ... kaki kamu kenapa, Sayang?" pekiknya.
Ibu seketika panik melihat kakiku yang sudah dibalut perban.
"Tidak apa-apa, Bu. Hanya luka kecil. Bisa kita duduk sekarang?" jelasku seraya meringis.
Kakiku benar-benar terasa sakit. Mungkin karena sejak tadi aku abaikan dan baru sejam yang lalu aku memutuskan ke dokter untuk memeriksa dan membalutnya agar Ibu tidak sampai melihatnya.
Ibu kembali menuntunku agar duduk pada sofa ruang tamu.
"Nak, kamu habis dari mana? Kenapa kaki kamu dibalut perban seperti ini?" Ibu rupanya masih belum puas dengan jawabanku.
"Bu, kali ini dengerin Shafa, ya. Soal kaki Shafa ini tidak terlalu penting. Ada yang lebih penting dari ini," ucapku pelan berharap kali ini hati Ibu tersentuh.
Ibu mengangguk.
"Syifa dan Shofi sudah tidur, Bu?" tanyaku sambil celingukan mencari keberadaan dua adikku itu.
"Sepertinya sudah, Nak. Syifa katanya sedikit capek setelah seharian merayakan hari kelulusan. Sementara Shofi juga tadi hampir magrib baru pulang dari rumah temennya ngerjain tugas kelompok," papar Ibu. "Kenapa, Nak?" tanya Ibu lagi.
"Aku bangunin mereka, ya. Soalnya ini ... menyangkut mereka juga."
Ibu tertegun sejenak. Namun sedetik kemudian buru-buru tersadar. "Biar Ibu saja. Kamu tunggu di sini," kata Ibu menahan aku yang hendak berdiri.
Beberapa menit kemudian, Syifa dan Shofia terlihat malas-malasan berjalan di belakang Ibu. Aku mengembangkan senyum melihat keduanya.
"Ih, Kakak ... ada apa, sih?" Itu Shofia yang merengek. Adikku itu emang paling gak suka kalau tidurnya diganggu.
"Syifa dan Shofi sebaiknya cuci muka dulu, deh. Biar segar," ujarku.
"Hoamm ...." Shofia lagi-lagi menguap.
"Ayok!" Syifa menarik tangan Shofia agar ikut dengannya mencuci muka seperti kataku.
Shofia terus merengek dan aku lagi-lagi mengembangkan senyum karenanya. Setelah ini, setelah keputusan besar ini apakah aku masih bisa melihat senyum dan tawa kedua adikku? Apakah keduanya akan setuju dengan ide gilaku?
Maafkan kakak, Dek, jika kakak begitu egois.
"Nak?" Ibu menarikku ke dalam pelukan bersamaan dengan pecahnya air mataku. Aku sesenggukan di pelukan Ibu.
Bayang-bayang tentang Ayah yang terlihat bahagia sambil mengelus-elus perut buncit wanita itu terus saja menghantui benakku. Rasanya aku benar-benar tidak sanggup.
"Apa yang telah kamu ketahui, Nak?" tanya Ibu lirih.
"Kenapa selalu saja diam, Bu? Kenapa selalu saja memilih menelan sendiri kepahitan-kepahitan yang diberi Ayah?" Aku meracau, mengabaikan pertanyaan Ibu. "Shafa sudah tau semuanya, Bu. Ayah menikah lagi, kan? Dan wanita itu kini sedang mengandung ...." ungkapku membuat Ibu semakin mengeratkan pelukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
RETAK
RandomPerkataan orang-orang bahwa Ayah adalah cinta pertama anak perempuannya sepertinya keliru, sebab bagi Shafa sosok ayah adalah lelaki yang pertama kali mematahkan hatinya sampai berkali-kali.