Kendaraan hitam seharga milyaran rupiah itu dengan pelan masuk ke dalam pekarangan sebuah hunian mewah di kawasan Menteng. Rumah Tyler memiliki gaya modern-contemporary dengan aksen bebatuan itu tampak berbeda dengan rumah-rumah lain di sekitarnya.
"So this is your house?" tanya Safi retoris saat mobil tersebut sudah terparkir sempurna di garasi.
Tyler tersenyum tipis dan mengangguk. Mereka berdua kemudian masuk ke dalam rumah dan langsung disambut oleh asisten rumah tangga Tyler, Bu Ayu. Hal pertama yang menarik perhatian Safi begitu masuk adalah sebuah pigura besar berisi foto keluarga Tyler di ruang tamunya. Jika hanya melihat foto tersebut tanpa mendengar cerita Sandra sebelumnya, Safi seratus persen percaya bahwa mereka adalah keluarga bahagia.
But, there is no such thing as perfection, right?
Safi tersadar dari lamunannya begitu Tyler menggenggam jemarinya. "Yuk."
Sepasang sejoli itu akhirnya sampai di bagian dapur. Tyler melepas genggamannya dan memakai apron yang terlipat di kitchen island.
"Bu Ayu gak usah bantuin ya. Saya bisa sendiri," perintah Tyler kepada asistennya. Perempuan berusia paruh baya itu hanya mengangguk mengerti dan pergi setelah pamit untuk mengurus kebun belakang.
"Jadi hari ini mau bikin apa, masterchef?" Safi menghampiri Tyler lalu menopangkan kepalanya di lengan yang bersandar di kitchen island.
Tyler memiringkan kepalanya lalu tersenyum lebar. "Does pasta sound great to you?"
Safi mengitari kitchen island itu dan berdiri berhadapan dengan Tyler. Tanpa persiapan, kaki mungil itu berjinjit dan berakhir dengan bibir mereka yang bertemu selama sepersekian detik. Kecupan singkat yang cukup membuat Safi blushing.
"Good luck, babe," bisiknya sebelum buru-buru mundur dan duduk di kursi meja makan.
--
Pemandangan pria tampan yang sedang berusaha memasak untuk pacarnya menjadi hiburan tersendiri bagi Safi. Dengan kaki menjuntai karena kursi meja makan Tyler yang agak tinggi dan ditemani suara bising dapur, hal ini mau tidak mau membuat Safi betah. Ia tidak keberatan menikmati pemandangan ini setiap hari. Astaga, apa ia mengkode bahwa ia ingin cepat dipersunting oleh pria ini? Safi menggelengkan kepalanya cepat.
Baru saja ia membayangkan gambaran Tyler memasak setiap pagi. Memang imajinasi acap kali tidak sesuai dengan kenyataan. Safi baru menyadari betapa berantakannya dapur itu setelah ia sadar dari lamunannya. Ketika Tyler meniriskan fettuccine yang jelas-jelas masih mentah, Safi meneguk ludahnya kasar. Oh boy, bahkan fettuccine yang berada di saringan itu belum sepenuhnya lunak. Not even close to al dente.
"Babe, sorry, tapi kayaknya kamu gak usah masak deh." Safi berkata dengan tidak enak hati. Ia paham. Tyler pasti sudah berusaha yang terbaik untuk membuatkannya makanan. Ia juga ingin memberikan apresiasi, hanya saja ia harus menghentikan pria itu sebelum semuanya terlambat. Lain kali Safi harus mengingat-ingat untuk tidak meminta pria itu memasak di kesempatan berikutnya.
Pria itu meletakkan fine strainer di sink kemudian mendongak polos ke arah Safi. Sedetik kemudian, ia mengeluarkan sebuah tawa malu. "Astaga, I think I made a bad choice by cooking. Udah lah ya, let's just order some foods," ujarnya ringan dan dengan mudahnya menyerah.
Dengan cekatan ia melepas apron berwarna abu-abu yang melapisi dada sampai pinggangnya kemudian merangkul Safi duduk di sofa ruang tamu. Ia memeluk Safi dari belakang sehingga kini Safi berada di dalam rengkuhannya. Menghirup aroma perempuan favoritnya sembari memberikan kecupan ringan di lehernya.
"Ah, stop it. Geli." Safi tanpa sengaja menoyor kepala Tyler yang hanya dibalas dengan suara tawa geli dari sang pria.
"Mau makan apa?" tanya Tyler di sela kegiatan snuggling itu. Ia meraih handphone yang berada di atas coffee table dan membuka aplikasi pesan antar di depan Safi.
"Nasi Goreng Kebon Sirih aja. Ini." ujar Safi menunjuk sebuah restoran yang kebetulan lewat di layar ponsel Tyler.
"You know the hidden gem," komentar Tyler. Telunjuknya memesan dua porsi dari nasi goreng yang diinginkan Safi itu.
"Itu bukan hidden gem lagi, udah jadi rahasia umum," celetuk Safi.
"Hm? Yeah." Tyler meletakkan kembali handphonenya kemudian mengeratkan pelukannya ke tubuh Safi di sofa itu.
"Babe, kamu tau gak aku agak awkward disini. Kita kayak pacaran tapi lagi diliatin sama keluarga kamu." Safi menatap Tyler dari posisinya dengan kepala berada di pangkuan Tyler.
Sekali lagi pria itu tertawa ringan. "Karena foto itu?" Tyler merujuk ke foto keluarganya yang terpampang jelas di hadapan sofa. Safi mengangguk.
"Would you tell me about your family?" tanya Safi langsung to the point.
"My family ya?" Pria itu tampak termenung sejenak. Tanpa disadari, Safi pun menahan napas. Ia menunggu-nunggu apakah Tyler akan memakan pancingannya untuk menceritakan mengenai keluarganya sendiri.Kebanyakan bergaul dengan Amary membuat Safi muak akan ceramah temannya mengenai pentingnya komunikasi dan keterbukaan. Safi awalnya tidak menyadari betapa krusialnya dua hal itu, sampai ia bertemu dengan Tyler Candranata.
"Gak ada yang bisa diomongin tentang keluarga aku."
Dan Safi harus menelan pil pahit karena pria itu sama sekali belum mau terbuka untuknya. Okay Tyler, you owe me a story.
--
Sesi makan nasi goreng setelah itu serasa hambar setelah Safi gagal mengulik informasi mengenai keluarga Tyler atau pun dirinya sendiri. Memang ia sudah menyangka bahwa Tyler tidak akan terbuka semudah ini, tapi ketika dihadapi dengan kegagalan, manusia mana yang tidak kecewa?
"Aku ada salah ya?"
Pertanyaan serius yang dilontarkan dengan ragu itu membuat Safi mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Meneguk ludahnya, Safi mengumpat dalam hati betapa bodohnya dia dalam menyembunyikan perasaan.
Tersenyum kaku, perempuan itu menggeleng. "Gak ada kok."
Bohong, batin Safi berteriak.
"Kamu beneran aneh hari ini." Tyler berdiri dan mengubah posisi duduknya menjadi bersebelahan dengan Safi. "Cerita, Saf. I'm all ears." Tyler kemudian mendorong piring broken white ber-lis emas berisi nasi goreng itu menjauh dan memegang kedua pergelangan tangan Safi mengarah kepadanya.
"Gak ada yang perlu diceritain, babe. Let's just continue eating." Safi melepaskan cengkraman Tyler dan menarik kembali piring nasi goreng itu.
Tyler menghembuskan nafas pelan. "Okay, kalo belum mau cerita gak apa-apa. You owe me a story, gorgeous."
Safi dapat merasakan kedua matanya berkaca-kaca begitu Tyler melontarkan ungkapan itu. Kalimat 'you owe me a story' kini menjadi trigger yang dapat membuatnya menangis. Mungkin ia terlalu gegabah kalau memaksa Tyler untuk menceritakan hal mengerikan itu. Mungkin ia yang seharusnya mengalah dan menunggu. Ia menundukkan kepala dan setetes air mata terjatuh ke lengannya.
"Hey. Ada apa?" Tyler dengan panik merengkuh kedua pipi Safi dan memaksanya untuk menatap kearahnya. Kedua ibu jarinya menghapus air mata Safi yang mengalir di pipinya. Ia kemudian memeluk Safi dengan erat. "It's okay, Saf. I'm here. Jangan nangis lagi."
Sebuah kalimat yang nyatanya malah membuat Safi menangis lebih deras.
--
Dua hari jadi dua bulan ya gais. Maap. Ga janji2 lagi deh. :) Thank you buat yang udah nungguin -skeldknana
KAMU SEDANG MEMBACA
aficionado
RomanceSiapa yang tidak mengenal Sapphire Ixora Ganendra? Perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu sudah dua tahun berturut-turut masuk ke dalam jajaran Forbes 30 Under 30 berkat kesuksesan perusahaan produsen makanan hewan miliknya. Ia juga seorang so...