chapter 2

12K 927 19
                                    

Nama Tyler Ordian Candranata sebenarnya tidak asing lagi di telinga kaum elite Jakarta. Penerus tunggal perusahaan bahan kimia terbesar se-Asia—Candranata Industries, pemegang gelar MBA dari Harvard, sampai gosip ketampanannya yang 'katanya' lebih rupawan dari beberapa artis Indonesia.

Ada kalimat yang mengatakan bahwa sesuatu yang semakin ditutupi maka akan membuat orang semakin penasaran. Begitu pula dengan sosok Tyler di mata publik. Ia jarang—atau bahkan tidak pernah—menghadiri acara-acara sosial, kecuali rapat yang berkaitan dengan perusahaannya. Tidak pernah mengiyakan tawaran wawancara, juga menutup rapat informasi tentang dirinya. Bahkan, akun LinkedIn nya dibiarkan tanpa foto.

Tidak ada siapapun, baik pria maupun wanita, dari circle pertemanan Safi yang benar-benar mengenal Tyler. Bagaimana mau mengenal jika bertemu saja sulit. Kabar ketampanannya pun beredar dari mulut ke mulut. Yang pernah bertemu dengan pria itu hanya segelintir laki-laki yang kebetulan menghadiri rapat yang sama dengan Tyler.

Jadi kalau berpapasan dengan Tyler Candranata, dapat dikatakan jika kalian adalah satu dari orang-orang yang terlahir beruntung karena persentase bertemu dengannya mungkin lebih rendah daripada memenangkan lotre.

--

"Saf. Cowok tadi bukan Tyler Candranata kan?"

Safi mengangguk santai. "Iya, dia Tyler Candranata," akunya tanpa beban.

Amary memekik pelan dan mengguncangkan bahu Safi dengan kekuatan supernya. "Gue barusan ketemu sama legenda konglomerat Indonesia!"

"Gosipnya dia cakep, setelah ketemu langsung menurut gue biasa aja tuh," protes Safi setelah Amary melepaskan cengkraman di bahunya.

Amary memandang perempuan di depannya kaget. "Menurut gue dia udah masuk kategori GODDAMN FINE sih Saf. Dari jauh aja udah berasa aura-aura cogannya. And, he's definitely better than Randy! "

Safi memutar matanya jengah. "Please! Randy tuh gak ganteng."

"Fine. Anggep Randy gak ganteng. Terus yang ganteng menurut lu siapa?"

Safi berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Amary. "Mm.. Chris Evans, Liam Hemsworth, siapa lagi ya—"

"Not them!" Amary memekik frustasi. "Yang nyata, Saf. Okay mereka nyata, but they're out of our league. Jawab serius. Yang realistis."

"Tyler?" Tanpa sadar Safi menyuarakan isi otaknya. Begitu sadar akan apa yang baru saja ia lakukan, Safi buru-buru menutup mulut menggunakan tangannya.

"Kan! Akhirnya ngaku juga kalo dia emang ganteng." Amary menunjuk Safi menggunakan telunjuknya.

"Not bad lah ya. Gue gak pernah bilang dia jelek juga," komentar Safi sedikit mengelak.

Sepanjang jalan menuju unit penthouse nya, Amary menggerutu mengenai konsep cowok 'tampan'. Safi hanya membalas ucapan Amary dengan mengangguk-angguk sembari merangkum apa yang keluar dari mulut perempuan yang sedang memegang leash Mako itu.

Menurut perempuan yang menganggap dirinya sendiri sebagai love guru, cowok dibilang tampan jika dilihat dari tiga sisi. Visual, personality, dan terakhir, isi dompet.

Visual. Perempuan berambut lavender itu menjelaskan kalau pria itu hakikatnya harus sama dengan wanita. Perempuan cantik, prianya harus tampan. Walaupun ia tahu juga, di dunia ini ada banyak sekali wanita cantik yang menikah dengan laki-laki berwajah jauh di bawahnya. Meskipun begitu, Amary tetap berpegang teguh dengan standarnya. At least , wajah keduanya selevel sehingga perbedaan di antara keduanya tidak terlalu mencolok. Kalau mau membaca sebuah buku, kita melihat covernya dulu kan? Bayangkan kalau kita mempunyai sebuah bookmark yang sangat indah, tapi buku yang akan dipasangkan bookmark itu tampak sangat kotor dan usang. Kan sayang jadinya.

aficionadoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang