Belenggu

856 49 0
                                    

Lotty membelalakan matanya kebingungan, ia melihat sekeliling, kamar yang begitu asing.

Kamar yang tidak terlalu besar dengan cat berwarna coklat muda mendominasi.

Tidak terlalu luas tapi cukup nyaman.

Ceklek...

"Kau sudah sadar, lotty?". Oliver baru saja berjalan beberapa langkah ingin mendekati gadis itu ketika suara teriakan kembali keluar dari mulut istrinya.

"Pembunuh... Pergi... Dasar pembunuh.... Pergi dari sini!".

Lotty melempar semua benda yang berada didekatnya pada Oliver dengan panik, entah itu bantal, guling, gelas bahkan tempat lilin.

Gadis itu begitu histeris melihat suaminya mencoba mendekat.

Ia ketakutan.

Oliver hanya pasrah menerima semua perlakuan istrinya, ia mengakui bahwa dirinya berdosa tapi keinginan untuk memiliki istrinya lebih besar dari apapun.

"Tuan, tolong biarkan Duchess tenang lebih dulu". Suara Erika pelayan pribadi Lotty menegur Oliver yang tetap berusaha mendekati istrinya.

Dengan berat hati Oliver berjalan keluar dari kamar, matanya memerah kesedihan memenuhi hatinya.

'Tak apa, yang penting aku dapat melihatnya selamat, tidak apa apa jika harus seperti dulu, aku sudah puas hanya dapat melihatnya'.

Oliver terus mengumandangkan kata kata itu dalam hatinya mencoba menghibur diri sendiri.

"Duchess, ini saya Erika".

Gadis pelayan itu bersimpuh disamping ranjang majikannya.

"Erika? Jangan biarkan pembunuh itu masuk jangan biarkan dia membunuhku!". Lotty begitu gelisah ia ketakutan bayangan pembunuh malam itu terus menghantuinya.

Erika begitu sedih melihat nyonyanya begitu menderita, ia sudah mendengar peristiwa yang majikannya alami kemarin malam.

Ia dijemput Jeff dengan kuda ketika Oliver berhasil menemukan Lotty.

Kini mereka berada disebuah kota kecil beberapa puluh kilometer dari desa yang Lotty tinggali.

"Tidak ada pembunuh disini nyonya, anda aman tidak ada yang berani menyakini anda".

"Tidak... Oliver akan membunuhku, dia mengirim orang orang itu untuk melenyapkanku".

Lotty terlihat begitu tertekan, ia bahkan menganggap Oliver berniat menyingkirkannya.

"Nyonya,,, dengarkan saya tuan Duke begitu mencintai anda beliau yang menolong dan membawa anda kesini". Erika masih berusaha menjelaskan kejadian yang sebenarnya pada Lotty yang masih dalam kebingungan.

***

"Duke, Duchess sangat stress dan tertekan ini sangat mengguncang mentalnya, serentetan kejadian belakangan ini mungkin pemicunya. Apalagi dalam keadaan hamil muda seperti ini, sebisa mungkin tolong jangan buat Duchess..."

"Tunggu, ulangi lagi kata kata mu tadi, istriku sedang apa?". Tanyanya penasaran ia merasa mendengar kata kata yang sangat penting.

"Duchess sedang tertekan?".

"Bukan yang itu, setelahnya".

"Stress?".

"Bukan!".

"Hamil muda?".

"Hamil?, Istriku hamil?". Ulang Oliver tak percaya.

"Benar, apa duke belum mengetahui kehamilan Duchess?".

"Tidak... Kami tidak bertemu lebih dari 2 minggu ini".

"Yah... Menurut analisa saya kehamilan Duchess baru memasuki bulan ke 2, jadi emosinya sangat tidak stabil, apalagi trauma yang ia alami setelah insiden kemarin malam. Saya bersyukur kandungan Duchess kuat".

"Tolong lebih perhatikan lagi perasaan Duchess". Pesan dokter yang memeriksa Lotty sebelum pamit undur diri.

Oliver memegang dadanya, wajahnya bersemu merah menahan kebahagiaan, ia ingin berteriak saking senangnya.

"Hamil... Lotty hamil.. anak kami.". Gumamnya.

"Tuan, keadaan Duchess sudah lebih baik sekarang beliau sudah bisa diajak berbicara saya sudah menjelaskan tentang insiden semalam, bahwa bukan anda yang mengirim para pembunuh itu".

"Apa aku bisa menemuinya?".

"Saya akan bertanya terlebih dulu".

Erika kembali memasuki kamar lotty, tak lama ia kembali menemui oliver, ia mengatakan bahwa lotty bersedia menemuinya.

"Hei....". Sapa Oliver lembut pada istrinya, ia duduk dikursi yang tersedia disamping ranjang.

"Bagaimana keadaanmu?". Lanjutnya.

"Sudah lebih baik". Jawab gadis itu pelan, ia menunduk tak berani menatap langsung pada suaminya.

"Aku minta maaf.. atas segalanya".

"...."

"Aku tau aku manusia paling menjijikkan didunia ini, dan tidak sepatutnya aku berani untuk menemuimu".

"Apa...apa kau benar benar membunuh kakakmu sendiri?". Lotty menarik nafasnya dalam , pertanyaan yang beberapa minggu ini mengusiknya akhirnya ia sampaikan.

"Aku...tidak membunuhnya secara langsung tapi memang ada peran yang kuambil, Hansel sudah seharusnya tidak ada didunia ini sejak beberapa tahun yang lalu".

Lotty mengerutkan keningnya, ia heran sebegitu tidak sukanya Oliver pada kakaknya itu.

"Kita semua tau sejak kecil Hansel selalu sakit sakitan, ketika usianya 15 th dia tenggelam disungai, aku yang menyelamatkannya, padahal waktu itu usiaku baru 10 tahun, lalu ketika bepergian kami sering diserang perampok sudah berulang kali nyawanya berada diujung tanduk tapi mau tidak mau aku yang harus maju menyelamatkannya. Sejak kecil ayah dan ibuku hanya menjadikanku penyambung nyawa untuk putra tertua mereka,aku harus menjadi orang yang kuat agar mampu melindungi kakakku itu,aku lelah jadi kupikir tidak masalah bukan sekali saja aku menutup mata jika Hansel menghadapi musibah".

Oliver menengadahkan wajahnya menatap langit langit, menahan sakit didalam hatinya, ia menarik nafas dalam sebelum melanjutkan keluh kesahnya.

"Aku memang yang mengirim Hansel ke kerajaan Addes dan aku juga tau hutan yang akan dia lewati penuh dengan perampok, aku hanya ingin melihat saja entah dia selamat atau tidak itu bukan urusanku, jika dia selamat keberuntungan ada padanya tapi jika tidak itu sudah menjadi nasibnya, aku ingin bebas dari jerat rantai yang membelenggu hidupku selama ini yang orang tuaku buat atas nama persaudaraan".

Lotty hanya menatap suaminya sembari menerka apakah pria itu berbohong atau tidak.

"Tapi kau seperti mengirim Hansel pada kematian".

"Aku tau itu, tapi untuk semua yang telah kami lalui aku rasa itu sepadan".

"Jika, kau tidak percaya tanyakan saja pada tuan Smith dia yang paling tau bagaimana kehidupan kami sejak kecil".lanjutnya dengan lesu,tatapan matanya begitu sendu.

Bagaimanapun selama tinggal dimansion Rodriguez memang Lotty tidak pernah mendengar secara langsung dari mulut penghuninya bagaimana kehidupan Hansel dan Oliver sebagai saudara.

Hanya kekurangan Hansel saja yang mereka keluhkan.

"Lalu, kenapa kau menikahiku?".

Mantan kakak iparkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang