04. Bau Duit

19.1K 1.7K 110
                                    

04. Bau Duit



       Aku menarik nafas panjang. Mencoba bersikap profesional dengan mengenakan baju paling rapih juga dua sudut bibir terangkat tinggi berlatih untuk membentuk sebuah senyuman percaya diri.

Sekali lagi, demi bersikap profesional.

Tarik nafas.... buang nafas.

Semuanya akan baik-baik saja.



Shit!



Persetanan dengan profesionalisme.

Ini semua karena ulah Vera!

Kalau bukan karena calon ibu itu yang menyukai hal-hal berbau nekat. Aku tidak akan mungkin akan bersiap menghadiri interview langsung dengan bos baruku.

Vera sialaaaan!!!

Lagipula.... mana ada orang yang menghadiri interview dengan bos barunya sambil makan malam bersama dengan sahabatnya.

Fix. Ini semua pasti sudah direncanakan Vera.

Membuat undangan makan malam bersama dengan Gery dan bosnya yang baru saja pulang dari Yordania. Sekaligus merayakan kepulangan Arka, satu-satunya member laki-laki dari perkumpulan kami.




"MBAK ALL!!! KAK GANES UDAH DATANG NIH DI DEPAAN!!" Suara Juan menghentikan aktivitasku saat sedang bercermin.

Aku melengos berat, buru-buru memoles lipstik dan meraih tas cepat. Bersamaan dengan Mamah yang membuka pintu tiba-tiba tanpa mengetuk.

"Kamu mau pergi?" Tanya Mamah langsung masih dengan baju pink dengan hijab bunga-bunga faavoritenya setelah pulang dari kondangan beberapa saat lalu.

Aku meraih tangan Mamah. Mengecup punggung tangan Mamah sekilas kemudian memeluknya. "Iya... aku mau ada acara di Bogor sama temen-temen. Gak usah nunggu aku pulang ya Mah. Pasti malem banget. Bisa jadi nginep."  Pesanku kemudian mencium pipinya cepat.

"Eh Mbak... tunggu dulu!!" Tahan Mamah membuatku yang sudah siap berlari ke depan itu kembali tertahan.

"Kenapa Mah? Ganes udah nungguin di depan." Ucapku buru-buru.

Walau jauh dalam hati sana. Sebenarnya aku takut Mamah mencurigai gerak gerikku selama hampir 3 hari menganggur. Tapi sejauh yang ku lihat, Mamah sepertinya belum menyadari bahwa aku sering bangun telat dan selalu pura-pura pergi ke kantor namun berbelok bermain di rumah Vera.

"Kamu jangan pulang kemalaman. Nayla bilang mau bicarain sesuatu, penting." Kata Mamah membuat dahiku mengernyit.

"Nayla? Dia mau pulang hari ini? Bukannya justru lagi sibuk ngejar sidang skripsi?" Tanyaku heran.

Tumben-tumbenan sekali anak itu ingat pulang, anak ketiga alias adik bawahku itu biasanya lebih sering melancong bersama teman-temannya kalau ada waktu luang. Mirip dengan Juan, adik bungsu sekaligus satu-satunya laki-laki diantara anak Mamah dan Ayah. Kalau urusan melancong, Nayla dan Juan memang maniaknya.

"Gak tau... Nayla bilang penting banget, kamu katanya wajib ada. Gimana yah Al... firasat Mamah kok tiba-tiba gak enak pas dengernya." Guratan cemas wajah Mamah membuatku sempat ikut khawatir.

Aku melirik jam dinding. Sesaat sempat merasa risau juga jika harus meninggalkan Mamah sendiri.

Diantara aku, Juan, Nayla atau bahkan kakak sulung kami, Julia. Yang paling terdekat dengan Mamah adalah diriku. Tak jarang Mamah mengaku merasa lebih tenang jika bersamaku.

"Gak papa Mah... kalau Nayla bilang mau ketemuan berarti ada yang mau dibahas. Yang paling penting kan kalau Nayla bisa pulang sendiri itu berarti Nayla sehat gak kenapa-napa." Kataku mencoba menenangkan. "Nanti aku nyuruh Juan supaya malam ini gak pergi kemana-mana yah? Biar bisa temenin Mamah." Aku meraih kedua tangan Mamah. Mengusap punggung tangan ibuku itu dengan lembut.

Virago ✔ (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang