BAGIAN 40

416 49 38
                                    

÷÷÷

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

÷÷÷

Beberapa hari sejak Robin pergi, Zahin menjalani hidup dengan ponsel di sekitarnya. Iphone ini diberikan Rivan, yang katanya dari Robin.

Zahin awalnya menolak, banyak alasan yang melatarbelakangi penolakan itu. Pertama, ia yakin benda persegi panjang itu mahal. Kedua, ia tak suka menerima barang dari orang lain—bukannya sombong atau tak tau diri tapi dia lebih suka berusaha sendiri untuk mendapatkan hal yang diinginkan. Ketiga, sepertinya ia tak membutuhkan benda itu. Keempat dan terpenting, Zahin tak tau cara menggunakannya.

Zahin adalah jilmaat remaja kolot.

Ben yang mengajarinya dengan penuh kesabaran. Gadis itu benar-benar tak tau apa-apa, cara untuk mematikan atau menyalakan ponsel saja tak tau. Zahin seperti kanvas polos yang di kasih banyak warna secara bersamaan. Pusing.

Namun sekarang dia bersyukur Robin memberikan gadget ini, Zahin juga senang bisa menggunakan benda persegi panjang ini. Ia bisa balas ketik-ketikan dengan Robin, bisa mendengar suaranya bahkan wajahnya. Gara-gara benda itu Zahin tak merasa jauh dengan Robin.

Kini, Ben sedang mengajak Zahin makan baso di pinggir jalan. Tadinya mau ke mall, tapi Zahin nggak mau.

"Udah kali Hin, hpnya nggak usah diliatin terus," keluh Ben saat Zahin hanya melihat ponsel dan tidak fokus pada makanannya.

"Nanti kalau Robin chat gimana?"

"Nggak gimana-gimana, justru Robin suka kalo lo nunda balas chat-nya," ide jail Ben tiba-tiba saja muncul, pasti seru liat Robin uring-uringan gara-gara Zahin nggak ada kabar.

"Kok gitu?" tanya Zahin polos seperti biasanya.

"Coba aja kalau nggak percaya, ntar pasti chat-nya jadi banyak atau bisa aja langsung telepon," jawabnya sambil mencoba menahan tawa, walaupun aktingnya buruk. Namun jika Zahin yang menontonnya pasti akan tetap percaya. Apalagi yang jadi aktornya Ben, dijamin akan diiyain Zahin.

"Oh gitu, oke deh aku matiin hpnya."

Zahin sudah membalik ponselnya hingga hanya terlihat gambar apel di makan ulat, katanya.

"Bisa?"

"Bisa dong," Zahin mengambil ponsel menunjukkan kepada Ben, lalu menekan tombol di pinggir hpnya dan iPhone itu sudah tidak ada tanda-tanda kehidupan. "Nih mati," katanya bangga.

Ben ikut bangga kepada Zahin, karena bagaimanapun juga dia yang menjadi guru untuk mengajari temen ceweknya itu berselancar di dunia per-Iphone-an.

Setelahnya makan siang berlangsung hikmat, Zahin menikmati makanan di depannya tanpa ada gangguan Robin. Begitu pula Ben yang senang melihat gadis itu makan dengan lahab.

Datangnya pelangi biasanya dibarengi dengan hujan. Tapi hujan sekarang bukan main-main, hujan deras bercampur badai berwujud Rivan.

Kekasih Mesa itu tiba-tiba saja menunjukkan eksistensinya di balik kain kuning yang merupakan tenda tempat makanannya.

Zahin to Robin | IIIWhere stories live. Discover now