BAGIAN 43

295 37 34
                                    

÷÷÷÷÷

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

÷÷÷÷÷

Sebelumnya mereka telah datang kekediaman Zina, namun tidak seperti harapannya. Gadis yang di cari tak ada di rumah. Walau begitu seorang pelayan di sana mengatakan jika Zina mungkin ada di bandara sekarang.

Mereka tak mau membuang waktunya lagi, Vano yang duduk di bangku kemudi—Garlien menyuruhnya karena tau jika pacarnya dulu adalah penyetir handal. Dia hanya mengetahui pedal gas dan sedikit rem jika diperlukan.

Di dalam mobil itu terlukiskan banyak emosi cemas dan sedih. Garlien duduk di depan bersama Vano, di barisan tengah ada Zahin dan Ben, terakhir di bagian paling belakang terdapat pasangan yang biasanya selalu ramai Mesa—Rivan. Namun kini hanya ada keheningan, tak ada yang mau membuka obrolan bahkan untuk sekedar menyapa atau saling menguatkan pun enggan.

Sesampainya di bandara. Mereka berpencar menjadi tiga bagian, supaya lebih cepat menemukan Zina. Pembagiannya sama seperti saat mereka duduk di dalam mobil. Secara otomatis tanpa ada ucapan sama sekali, mereka seperti tidak ada energi untuk berbicara.

Ben dan Zahin mencari Zina di daerah kamar mandi. Zahin yang terus keluar masuk untuk memastikannya, sedangkan Ben menunggu di luar sambil mengawasi sekitarnya.

Tok tok.

Zahin mengetok pintu kamar mandi yang tertutup, tak ada jawaban apapun di balik pintu putih ini.

"Zina?" panggilnya dengan suara serak.

Karena masih tak ada jawaban dia berbalik, tak mau mengganggu orang lain. Tanpa sengaja ia melihat pantulan dirinya di cermin, terlihat menyedihkan dengan rambut yang acak-acakan dan mata sembabnya.

"Robin... " panggilnya tanpa sebab, dia hanya merindukan sosok lelaki yang dulu selalu mengganggunya.

Pintu yang tadi di ketok Zahin tiba-tiba terbuka dengan suara nyaring. Zahin berbalik, gadis yang dicarinya ada di depan matanya.

Penampilannya sekarang tak jauh berbeda dengan Zahin. Seperti melihat dirinya namun dengan wajah yang berbeda.

Belum sempat ia bertanya, Zina melaju dengan cepat dan menjambak rambut Zahin lalu mendorongnya hingga menabrak dinding.

"Puas lo buat Robin mati?"

Zina menarik keras kerah baju Zahin, menariknya ke atas hingga membuat Zahin kesulitan bernafas.

"Udah berapa duit yang lo ambil?" Zina mendekatkan mulutnya di dekat telinga Zahin. "Jalang," katanya pelan.

Cuh!

Zina meludahi puncak kepala Zahin. Lalu meninggalkannya begitu saja. Sebelum dia bisa meninggalkan ruangan ini, tangannya di cegat Zahin.

"Dimana Ro-"

Tamparan keras mengenai salah satu pipi Zahin. "Jangan sebut namanya lagi, lo yang buat dia nggak akan pernah datang walaupun dipanggil ribuan kali," suara Zina mengecil, tapi tetap tajam. Seperti kata yang terlontar seperti pisau yang menghunus Zahin bertubi-tubi.

Zahin to Robin | IIIWhere stories live. Discover now