÷÷÷÷
Ben membawa Zahin ke rumah sakit terdekat. Di setiap perjalanan dia selalu mencoba untuk membangunkan Zahin dengan menepuk-nepuk pelan wajahnya, sesekali memanggil-manggil namanya. Tapi nihil, gadis polos itu sekarang masih memejamkan mata.
Kini, Zahin sedang tertidur pulas di ranjang rumah sakit. Ben juga telah menghubungi Rivan, dan memintanya untuk memberitahu yang lain. Bagaimana pun mereka telah menganggap Zahin temannya, jadi sudah sewajarnya tau kondisi Zahin. Itu yang Ben pikirkan, sebab sakit hati rasanya jika mereka akan tau dari orang lain.
Ben duduk di samping ranjang Zahin. Melihat gadis itu mengeluarkan air mata, segera ia mengusapnya. Ben merasa bersalah, entah kepada Zahin ataupun Robin.
"Robin... " ucap Zahin pelan dengan mata yang masih tertutup. Dia memanggil nama lirih itu berulang kali.
"Zahin, bangun, Zahin," panggilnya.
Zahin mengeluarkan suara namun matanya masih terpejam. Air matanya bahkan keluar dari tempat tinggalnya. Ben terus mencoba membangunkan Zahin—tak mau mimpi buruknya berlangsung lama. Bahkan jika ia memimpikan Robin, dia yakin mimpi itu berisi perpisahan, terbukti dengan suara parau dan garis air di kedua ekor matanya.
"ROBIN!" teriak Zahin tiba-tiba sampai terduduk. Satu tangannya ke depan seolah ingin meraih sesuatu.
"Zahin?" panggil Ben pelan, tak mau mengejutkan. Sebenarnya dia yang terkejut karena sang gadis langsung duduk tanpa aba-aba.
Ia menoleh, matanya merah dengan dua garis air di pipinya. Bibirnya tiba-tiba saja mengerucut ke bawah. Lalu menangis kencang, tangisan yang sama. Dengan penyebab yang sama pula.
Ben langsung memeluk Zahin, entah kenapa air matanya juga ikut turun. Zahin adalah teman satu-satunya yang ia miliki. Melihatnya menangis histeris seperti ini membuatnya hancur. Apalagi dia baru pertama kali melihatnya rapuh serapuh-rapuhnya, bahkan saat pamannya menyiksanya dia masih bisa menyembunyikan air mata. Namun sekarang, ia sama sekali tak bisa melakukan hal serupa.
Para suster yang mendengar suara isak tangisnya sampai menghampiri Zahin, takut ada apa-apa dengan pasiennya. Tapi Ben mengkode suster itu untuk pergi. Berpikir jika suster itu dapat membantu orang lebih membutuhkan. Dia masih bisa mengurus temannya itu, yang penting dia sudah siuman. Lagipula suster juga tak akan bisa menyembuhkan luka yang tak terlihat.
"Ro-robin per-gi-i," cicit Zahin ditengah-tengah tangisannya. Sesuai dugaan gadis itu pasti bermimpi Robin meninggalkannya, akan lebih baik jika itu hanya mimpi.
Mimpi itu pasti menjadi seperti ucapan selamat tinggal yang tidak bisa dilakukan secara langsung. Ben menepuk-nepuk pundak Zahin, tangisannya benar-benar tak berhenti bahkan semakin parah. Suaranya sudah serak ditambah dengan sesegukan yang tak ada hilal untuk reda.
Sebelum Zahin kembali pingsan ia harus 'menyadarkan' gadis itu. Walaupun dia yakin akan menyakitkan, tapi ia mau melihat Zahin jatuh pingsan untuk kedua kalinya. Untuk yang pertama mungkin ia tak tau cara mencegahnya, mungkin pula cara penyampainannya salah.
YOU ARE READING
Zahin to Robin | III
Teen FictionBagaimana jika cowok berumur 17 tahun memiliki baby sitter? Dan baby sitter itu ternyata seusia majikannya? Apa yang akan terjadi? ***** (Sebelum baca follow dulu) Semoga kalian suka cerita ketigaku' #1 in mewah 19 Nov 2021 #1 in pengasuh 23 Feb 202...