÷÷÷
Robin menghampiri kamar Mamanya dengan perasaan lega setelah mendengarkan suara kekasihnya. Senyumnya terbit begitu saja jika mengingat gadis polos itu.
"Ma ... "
Tangannya terhenti membuka kenop pintu sebab ia mendengarkan perbincangan Mamanya dengan seseorang.
Bibirnya sedikit naik ke atas, sepertinya telinganya harus dibersihkan. Keliatan sekali jika Mamanya tak memanggilnya, tau gitu ia malanjutakan obrolannya dengan Zahin.
Belum juga berbalik badan, kakinya terhenti dengan sendirinya saat perbincangan mereka menyebut namanya.
"Lo serius nerima hubungan Robin sama cewek itu? Seriously?"
Dia mendengar perbincangan mereka, namun ia ingin lebih memastikan jika yang di dengarnya adalah salah. Robin tak mau salah paham karena tidak mendangar secara keseluruhan.
"Ck, kalaupun gue mati juga nggak akan nerima cewek itu. Sekali nggak ya nggak."
Matanya meredup, ulu hatinya terasa nyeri. Sebegitu benci kah Hazel dengan Zahin. Ia bahkan tak tau bagaimana sifat, kelakuan, dan perasaan Zahin. Mamanya hanya menilai orang dari kekayaan yang dipunya.
"Terus lo bohongin anak lo sendiri?"
"Eum... Yep, tapi ini untuk kebaikannya. Demi kebahagiannya."
Matanya memanas secara tiba-tiba, amarah, kecewa terkelubung menjadi satu. Dadanya sesak sesaat mendengarkan kata demi kata yang terlontar di bibir Mamanya.
Kebaikannya, jika benar untuk kebaikannya kenapa detik ini juga ia merasa sakit, saat ini Robin sedang tidak baik-baik saja.
Jika memang untuk kebahagiannya, kenapa ia tak bahagia. Justru kecewa yang didapatanya, sebenarnya ini untuk kebahagiannya atau kebahagiannya Mamanya.
Ada rasa dimana ia merasa bodoh mempercayai Hazel, padahal dia sering di tipu dengan hal yang hampir serupa namun tetap saja Robin percaya. Apakah salah mempercayai seorang ibu?
Punggung tangannya secara bergantian bergerak menghapus jejak air di wajahnya. Berbarengan dengan langkah kaki yang bergerak cepat walaupun tak tau akan tempat tujuannya. Ia hanya ingin menjauh dari Hazel, ibu kandungnya.
Dari yang tadinya berjalan, hingga akhirnya berlari. Sekelebat detik ia teringat Zahin, dan membuat tau tujuannya.
Robin bergegas mengutak-atik ponselnya. Padahal biasanya ia mudah menggunakan benda elektronik ini, tapi entah kenapa sekarang untuk mencari nomor Zahin saja seperti mencari nomor yang tidak disimpan.
"Za... hin a-ku, ma-u pu-lang," katanya dengan ponsel ditelinga, dengan suara tersendat-sendat layaknya orang yang habis berlari.
"Hah? suara kamu nggak jelas? kamu bilang pulang? beneran pu-lang? pulang ke sini?" tanya balik gadis itu.
Memang wajar jika ia tak dengar, banyak mobil berlalu lalang tak tentu arah. Belum lagi hiruk pikuk kehidupan manusia yang sibuk dengan dunianya masing-masing. Di tambah suara Robin yang pelan.
"Tungguin aku," katanya dengan suara yang sama.
"Love you... " tutur Robin lirih.
Zahin tak mendengar perkataan Robin, kata terakhir ini lebih pelan lagi.
"Halo?"
"Robin?"
Sekarang Zahin benar-benar tak mendengarakan suara Robin. Suara yang didengar hanya langkah kaki, juga kebisingan kota.
YOU ARE READING
Zahin to Robin | III
Teen FictionBagaimana jika cowok berumur 17 tahun memiliki baby sitter? Dan baby sitter itu ternyata seusia majikannya? Apa yang akan terjadi? ***** (Sebelum baca follow dulu) Semoga kalian suka cerita ketigaku' #1 in mewah 19 Nov 2021 #1 in pengasuh 23 Feb 202...