"Ketika kamu berhasil kamu mendapatkan sesuatu. Ketika kamu gagal kamu belajar sesuatu. Keduanya sama-sama penting."
-unknown-
Tidak terasa hampir delapan bulan Renata kembali ke tanah kelahirannya. Sudah hampir setahun juga hubungan cintanya kandas. Menyisakan patah hati yang perlahan disembuhkan waktu.
Tidak semua memang luka bisa disembuhkan waktu. Tapi,tidak selamanya juga luka itu akan bertahta. Ada kalanya akan membaik seiring penerimaan atas segala yang terjadi.
Sudah siklusnya hidup seperti itu. Ada yang pergi ada yang datang. Ada luka dan ada bahagia. Semua itu hanya proses pendewasaan hidup yang tidak bisa dihindari.
Renata sangat menikmati waktunya yang sekarang. Hidupnya serasa berjalan ke arah yang semestinya. Hubungannya dengan Praha baik dan dekat. Bahkan lebih dekat dari saat mereka remaja dulu. Namun hanya sebatas itu. Tidak ada yang lebih.
"Loh, Dido."kaget Renata tidak menyangka mereka bertemu di pesta teman satu sekolahnya.
"Hai,Ren,"sapanya mendatangi Renata. "Lo kenal siapa?"merujuk pada pengantinnya.
"Bayu,"menyebutkan nama pengantin pria.
"Oh,aku lupa, kamu sepengajaran sama Bayu."
Dido mengajak Renata mengambil makanan karena mereka sudah sama-sama mengucapkan selamat pada mempelai. "Kamu sendirian?"tanya Renata.
Renata sendiri datang bersama teman sekerjanya namun mereka sudah pada pulang. Renata tertahan karena bertemu Dido. "Sama Praha tadi. Tapi dia udah cabut. Ada sidang bentar lagi."
"Gue penasaran deh liat dia gimana saat kerja."beber Renata tiba-tiba.
"Jangan deh kayaknya. Kamu bakalan shock." Renata mengernyit bingung.
"Kenapa?" raut heran tidak bisa ditutupi dari wajahnya.
"Dia tuh sadis di ruang sidang,"beritahu Dido santai namun tidak terlihat kebohongan disana."beda banget auranya kalau sidang."
"Kalau itu nggak usah dijelaskan gue udah tau. Dia kan gitu juga saat jadi ketua kelas dulu." Dido tertawa kecil sebelum mengganggukkan kepalanya.
"Beuh,itu belum ada apa-apanya dibanding sekarang."
"Masa sih?"
"Praha kalau di ruang sidang pemaparan buktinya itu jelas dan terperinci."
"Dia paling ahli membabat habis lawannya dipersidangan."tambah Dido seraya menuju meja terdekat dan menarik kursi untuk Renata. "Selalu total kalau sudah menangani klien,"
"Pantas ya klien dia banyak,"
Dido mengangguk setuju. Sebagai pengacara Praha sudah punya nama yang layak diperhitungkan. "Kantornya menunjukkan betapa suksesnya dia sekarang."
"Nggak heran sih dia sesukses sekarang. Apa yang dimilikinya saat ini berkat kerja keras dan pantang menyerahnya."
"Dulu dia malah sempat diremehin,"Renata membulat tidak percaya. "Tapi hebatnya dia bukannya patah semangat justru memacunya lebih giat berusaha."
Lelaki kaya banyak namun yang pantang menyerah tidak semua bisa. Praha sudah membuktikan kualitas dirinya tanpa perlu menjelaskan.
"Bisa dibilang dia sibuk banget ya?"
"Gue aja kadang bingung gimana cara dia membagi waktu."
"Tapi kok dia masih sempat-sempatnya ya ngabisin waktu sama gue?"pertanyaan Renata seakan membuatnya terhenyak sendiri.
Renata baru sadar itu. Dia tau sesibuk apa pria itu. Tiap hari ada aja klien yang dibelanya. Meski punya pegawai tetap saja Praha selalu ikut memantau tiap klien yang datang ke kantornya.
"Untuk itu bukan kapasitas ku deh menjelaskannya."
"Tapi sebagai orang yang sudah dewasa kamu bisa menyimpulkannya sendiri."
*
Renata memandangi garis wajah Praha yang tepat berada di sampingnya. Saat ini mereka sedang nongkrong di alun-alun kota. Karena tempatnya strategis tempat ini selalu ramai dipenuhi muda-mudi tak ketinggalan para penjaja makanan.
Benaknya dipenuhi banyak pertanyaan yang tidak sanggup diungkapkan. Diam-diam Renata menghela nafas seraya melirik pria yang sedang lahap menghabiskan nasi gorengnya.
"Lapar,ya?"tanya Renata mengulurkan air minum begitu Praha menyelesaikan makanannya.
Praha tersenyum sebelum berdiri dan mengembalikan piringnya ke penjual. "Kenyang makan somay doang?"
"Tadi sore sempat makan sih,"Praha mengangguk mengerti "lagipula rasa somay disini selalu juara."pria itu tertawa.
Tempo hari Praha mengenalkan penjual somay itu padanya. Dan Renata tidak pernah meragukan rekomendasi Praha yang tidak pernah gagal membuatnya ketagihan selama ini.
"Kerjaan gimana?lancar?" saat bersama mereka jarang membahas soal pekerjaan. Lebih sering ke masalah yang terjadi disekitar mereka.
"Dibilang lancar juga nggak selalu. Ada naik turunnya. Tapi melewati semua prosesnya selalu menambah pengalaman baru."tanpa sadar Renata mengulas senyum tipis melihat bagaimana Praha menikmati pekerjaannya.
Tidak terlihat raut wajah bosan dan mengeluh meski dihadapkan berbagai macam persoalan dan menghadapi berbagai karakter manusia.
"Ada nggak sih klien yang membuat lo kapok dan tidak berurusan dengannya untuk ke depannya."
Praha terlihat menerawang sebelum membuka suara. "Ada sih, namanya juga menghadapi manusia yang bermasalah hukum."
"Hanya saja kalau belum menyentuh prinsip kantor dan tidak menyalahi aturan tetap diterima."
"Masih butuh duit sih buat gaji pegawai,"tuturnya geli dibalas Renata dengan tertawa juga.
"Tapi biasanya sebelum teken surat kuasa kami biasa menambahkan beberapa syarat. "
"Biasanya diterima tidak syaratnya?"penasaran Renata meski sebenarnya sedikitnya dia bisa menebak.
"Diterima sih,syukurnya. Orang di kantor selalu piawai masalah gituan."guraunya sambil tertawa berderai-derai. Tawa yang menular pada Renata.
Renata kagum pada Praha, meski sudah jadi pemilik firma hukum dia tidak membuatnya tinggi hati dan membanggakan karirnya. Dia tetaplah Praha yang sederhana yang dikenalnya bertahun-tahun lalu.
Pria itu tetap rendah hati dan pintar menempatkan diri. Membuat lawannya menaruh hormat dan klien menaruh percaya yang besar padanya.
Modal besar yang tidak didapat secara instan. Namun melalui berbagai macam tantangan yang berhasil dilewati.
"Gue kagum sih sama Lo. Dan Lo pantas berada di titik ini."puji Renata dengan tulus.
"Wah,satu kebanggan dikagumi Ibu Renata."goda Praha tanpa mengalihkan matanya dari wajah cantik di sampingnya.
"Apaan,sih,lebay,"cibirnya menutupi rasa saltingnya.
"Aku jujur kok merupakan kebanggan dikagumi sama kamu."
*
"Kalau seandainya ada yang mau dekat dan serius sama kamu. Gimana tanggapan kamu?"tanya Praha suatu siang seusai kelas Lancar Aksara.
Renata menoleh dan memandang Praha dengan pandangan menelisik. "Ya,nggak gimana-gimana,sih."
"Hatimu udah siap?"ditanya seperti itu jantung Renata berdetak keras. Pertanyaan Praha membuatnya meraba hati sendiri. Tentang apa yang dirasakannya paska patah hatinya.
"Pada dasarnya siap tidaknya terkadang kita sendiri tidak sadar." Praha mengangguk mengerti. "Tapi bukan berarti tidak bisa mencoba juga."
"Terkadang jawaban didapat saat berani mencoba lagi."
"Jadi siapa orangnya?"tanya Renata tepat di mata Praha. "Yang mau mencoba dekat itu?"
*Minggu,10 Juli 2022.
Idhul Adha, Terimakasih Tuhan masih mempertemukan aku dengannya. Dengan jiwa dan raga yang sehat. Alhamdulillah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa Kabar Hati?
RomanceRenata Syahbana dan Fadly Rajasa sudah menjalin hubungan selama 8 tahun. Tepatnya sejak mereka duduk di bangku kuliah sampai bekerja seperti saat ini. Bisa dibilang mereka selalu disebut couple goals orang-orang disekitarnya. Tapi tanpa disadari...