B.

628 61 11
                                    

"Untuk yang kesekian kalinya, kau lukai lagi"
• • •

Sesuai janji minggu lalu, Renata dan Wira bertemu disebuah cafe yang baru buka. Renata datang bersama Delina dan kekasihnya, Pandu.

"Udah lama?" tanya Renata saat menarik kursi yang berada di hadapan Wira.

"Baru aja kok, pesan deh biar sekalian." Wira menyerahkan buku menu pada Pandu. Keduanya sudah saling mengenal sebelumnya.

Setelah mencatat pesanan mereka pramusaji itu berlalu dari hadapan mereka. "Sehat Mas? Gimana kerjaannya?'" tanya Delina pada Wira. Secara umur Wira memang diatas mereka, Renata saja yang kurang ajar langsung manggil nama.

"Baik, kerjaan mah bikin mumet."

"Pada dasarnya tiap pekerjaan itu ada masalahnya sendiri." semua mengiyakan ucapan Pandu.

"Tapi nggak ada yang marah nih kita jalan begini?" Wira merasa tidak enak. Dia tau Renata sudah punya pacar. Meski menyukai Renata, Wira tidak pernah punya keinginan merusak hubungan keduanya.

"Si kutu kupret itu keluar kota Mas." bukan Renata yang menjawab tapi Delina. Mendengar jawaban Delina, Pandu menggelengkan kepalanya. Wira sendiri hanya tersenyum tipis.

"Nggak baik ngomongin orang." peringat Pandu saat Delina mau ngoceh lagi. Delina langsung mengatupkan bibirnya. Renata merasa berterima kasih karenanya. Delina yang blak-blakan terkadang merepotkan. Kadang Renata heran kenapa Pandu yang tidak banyak bicara bisa tahan sama Delina yang bar-bar begitu.

Mereka makan diiringi obrolan santai yang membahas banyak hal. Harus Renata akui membahas apapun bersama ketiga nya selalu menyenangkan. Dari pekerjaan, pandangan hidup sampai hal absurd sekalipun. Intinya mereka nyambung, walau ada perbedaan pendapat tapi selalu ada alasan masuk akal dibaliknya.

Diam-diam Renata membandingkan obrolannya dengan Fadly yang selalu didominasi pria itu. Renata selalu jadi sosok penurut tanpa membantah argumen Fadly. Sekalipun dia tidak setuju.

Apalagi beberapa tahun terakhir ini mereka sudah jarang bercanda dan saling meledek seperti awal mereka pacaran dulu. Renata mencoba memahami kekasihnya yang sedang terpuruk.

Usahanya mengalami gulung tikar beberapa tahun lalu. Dan setelah drama panjang akhirnya sedikit demi sedikit Fadly mulai bisa bangkit kembali.

Renata berharap dengan membaiknya usaha Fadly sikap lelaki itu juga akan kembali hangat seperti awal kebersamaan mereka. Renata merindukan sikap hangat dan penuh kasih lelaki itu.

"Kita cabut duluan ya." pamit Pandu yang diikuti Delina.

"Hati-hati." Renata tersenyum tipis saat melihat Pandu berganti disebelah kiri saat melewati kumpulan lelaki yang baru masuk.

"Ada masalah? Daritadi diam aja." Renata menggelengkan kepalanya. Bukan apa-apa, dia tidak nyaman menceritakan ganjalannya pada Wira, apalagi mengetahui fakta lelaki itu punya rasa padanya.

"Hanya mikirin kerjaan aja."

"Liburan ini pulang?"

"Kayaknya nggak, nanggung cuma seminggu lebih."

"Udah kerasan disini ya." Renata tersenyum mendengarnya.

"Gimana ya udah lama juga tinggal disini, kerjaan juga disini."

"Nggak ada niat buat balik kampung selamanya?"

"Untuk saat ini belum sih," Renata tersenyum dan untuk beberapa detik Wira terpaku melihatnya.

"Ada pacar disini jadi susah ya." Wira mengatakannya dengan santai tanpa beban. Sedangkan Renata hanya tersenyum tipis.

Wira orang yang hangat dan suka bercanda terutama orang yang sudah dikenalnya, itu yang terlintas dalam pikiran Renata saat pertama mengenal Wira setahun lalu. Hidupnya terbilang santai tapi tetap bisa meraih goal nya. Wira orang yang tidak diperbudak pekerjaan dan harta. Itu point pentingnya.

"Terkadang aku ingin seperti kamu tetap santai namun semua berjalan dengan baik." kata Renata setelah mereka terdiam beberapa menit.

"Terlihat santai bukan berarti nggak punya masalah kan?"

"Masalah pasti adalah tergantung menyikapinya bagaimana."

"Kamu benar, mungkin orang taunya aku terlalu santai dan tidak ambil pusing semuanya. Padahal itu caraku untuk tetap waras." Renata tertawa mendengarnya.

"Dunia makin edan ya makanya kita dituntut untuk semakin waras."

"Nah, itu. Saking edannya banyak yang bekerja dengan kepala di kaki, kaki di kepala. Padahal harta tidak dibawa mati."

"Harta memang tidak dibawa mati, tapi itu tetap perlu untuk keberlangsungan hidup."

"Tapi tidak harus mengabaikan orang yang kita sayang kan?" Renata terdiam mendengarnya. Merasa tertohok. "Hidup bukan soal harta ada hal lain yang mesti kita kita cari sebagai makhluk sosial."

"Kita diharuskan kerja keras tanpa melupakan hal lain." tambah Wira saat Renata hanya diam saja.

****

Wira mengantarkan Renata saat hari sudah malam. Renata membuka pintu mobil dan mengucapkan terima kasih pada Wira.

"Makasih sudah diantarkan. Maaf nggak bisa ngajak kamu masuk. Tau sendiri peraturannya."

"Santai aja, ya udah aku pulang ya." Wira menekan klakson sekali tanda berpamitan.

Setelah mobil yang dikemudi Wira sudah tidak terlihat lagi, Renata membuka pagar dan masuk ke dalam. Betapa terkejutnya Renata saat melihat Fadly duduk di kursi gazebo tempat biasa saat menerima tamu. Renata bergegas menghampiri Fadly yang menatapnya tajam.

"Darimana?" meski diucapkan dengan pelan tapi intonasinya tidak bisa berbohong. Renata tau Fadly akan marah padanya.

"Ketemu sama Delina tadi." jawabnya pelan

"pergi sama Delina tapi diantar cowok lain?" sinis Fadly.

"Kita berempat kok."

"Daouble date, eh?" terlihat kesinisan saat Fadly mengucapkan itu.

"Bukan kok, makan malam biasa aja. Aku minta maaf pergi nggak pamit sama kamu."

"Aku yang ngajak kamu tolak giliran mereka kamu mau aja." nada suara Fadly naik satu oktaf.

"Bukan gitu Ly, kemaren emang aku sibuk banget. Tadi juga kita cuma makan doang, nggak kemana-mana." jelas Renata dengan menahan tangis.

"Alah, alasan kamu aja. Harapanku pulang dari luar kota kita jalan tapi kamu malah pergi sama yang lain." Fadly pergi dengan kesal. Meninggalkan Renata yang menangis dalam diam.

Menghapus air matanya Renata memilih masuk ke dalam kos. Membersihkan dirinya baru istirahat. Rasanya penat banget. Tubuhnya juga butuh istirahat.

***

Pagi harinya Renata membuatkan sarapan untuk Fadly. Lelaki itu sangat menyukai nasi goreng buatannya. Setelah menitipkan pada kurir, Renata bergegas ke sekolah.

Ponsel yang diletakkan Renata dekat buku berdenting. Sebuah pesan masuk.
Sebuah pesan berisi potret makanan yang tadi dikirim Renata.

Fadly Rajasa:
Udah sampai.

Membaca pesan singkat tersebut membuat Renata menghela nafas. Tidak ada komentar apapun selain itu. Rasanya menyesakkan saat Fadly tidak menghargai usahanya. Padahal Renata sudah bela-belain bangun lebih pagi. Bahkan sekedar ucapan terima kasih pun tidak.

(954)
*Sabtu, 06 juni 2020

Apa Kabar Hati?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang