G.

393 50 4
                                    

              "Baru kusadari, Rasaku memang tak penting untukmu."
                    -Unknown-
   

     

      Sejak malam itu, Renata terkesan menghindari Fadly. Bukan pilihan baik memang. Hanya saja hatinya belum sanggup melihat lelaki itu tanpa rasa sakit. Rasanya terlalu menyesakkan.

      Renata beralasan sibuk di sekolah dengan dalih menyusun RPP semester depan. Dia tidak sepenuhnya berbohong dan tidak sepenuhnya jujur juga.

    Yang dilakukannya sekarang meneruskan novel yang ditulisnya. Mengurung diri di kamar dan keluar hanya saat membeli makanan saja. Mengisolasi dirinya dari dunia luar.

     Saat sedang larut depan layar persegi itu, Renata dikejutkan dengan ketukan pintu. Renata berdiri dan mengintip di jendela sebelum akhirnya membuka pintu begitu tau siapa yang datang.

"Masih hidup lo." sarkatis Delina begitu melihat penampilan Renata yang buruk.

    Sahabatnya itu sangat kacau. Kantung mata yang menghitam. Muka pucat dan kuyu. Rambut yang digelung asal dan terkesan acak-acakan.

"Mandi sono, bau lo." cibir Delina dan mendengus melihat penampilan sahabatnya.

"Aku males Del, kamu pulang aja deh." usirnya tanpa dosa.

"Nggak bisa. Sana mandi." Delina berkacak pinggang. Mendorongnya ke kamar mandi.

    Tau dirinya tidak akan menang melawan Delina, Renata dengan sebal menarik handuk dan masuk ke kamar mandi sambil bersungut-sungut.

    Sepeninggal Renata, Delina berdecak melihat sekelilingnya. Kamar Renata benar-benar berantakan. "Si bodoh itu" gerutunya sambil melempar pakaian yang berserakan di atas ranjang.

     Jangan berharap Delina akan membersihkan kamar Renata. Dia tidak sebaik itu. Justru diantara mereka Renata yang paling rajin. Tapi bisa menjadi jorok tidak ketulungan saat suasana hatinya buruk.

                    ***

   

     Renata keluar dari kamar mandi dan menemukan Delina sibuk dengan ponsel di tangannya. Sahabatnya itu hanya melirik sekilas dan kembali menganulir ponselnya. Mengabaikan Renata yang sudah terlihat waras.

"Lu ngapain kesini?" jengah juga melihat Delina merecokinya. Mengomentari kamarnya yang berantakan dan segala macam.

"Mastiin kamu masih hidup." jawabnya tanpa beban. Renata cemberut. Delina memang seperti itu. Ceplas-ceplos dan seenaknya.

"Gue masih hidup. Masih belum punya amal dan belum ingin mati." Renata menyedokkan nasi ke mulutnya. Tidak berniat menawari Delina. Kalau laper gadis itu akan mengambil sendiri tanpa permisi.

"Baguslah. Kalau sadar diri."

"Sibuk banget sih." sindir Renata yang tenggelam dengan ponselnya. Bukan terganggu hanya saja Delina bukan orang yang tahan berbalas pesan lama-lama.

"Lagi balas pesan Mas Pandu," Renata beroh ria.

     Renata meringis melihat kamarnya yang berantakan. Bergegas dipungutinya sampah makanan yang berserakan. Mengumpulkan pakaian kotor ke dalam keranjang. Merutuki kebodohannya yang menyiksa diri sendiri. 

      Delina mencibir melihat sahabatnya yang berdecak sejak tadi. Setelah membersihkan diri barulah sahabatnya itu sadar dari kebodohannya.

"Baru nyadar kamar lu, jorok." Renata mendengus. Delina tidak akan repot-repot berkata lembut padanya. Terkesan bar-bar dan sinis malah.

"Kok gue jadi bodoh gini ya?!" gerutunya pada diri sendiri sambil terus menyapu.

"Lah,Baru sadar dia." Renata melotot galak sementara Delina tersenyum puas.

     Setelah bingung mau ngapain di kosan, keduanya akhirnya memilih jalan-jalan ke Mall. Delina membelah jalanan yang padat dan syukurnya tidak macet.

     Awalnya Delina tidak berniat belanja namun ketika melewati gerai langganannya gadis berambut sebahu itu luluh juga. "Ingetin kalau gue udah kalap." kata Delina sebelum menarik tangan Renata memasuki gerai berkaca transparant itu.

    Renata menuju stand dress. Sudah lama dia tidak mempunyai dress baru. Renata berjalan perlahan sambil melirik yang pas dan menarik.

    Matanya terpaku sesaat pada Dress panjang semata kaki berwarna biru pastel dengan aksen bunga-bunga kecil di atasnya. Terlihat manis namun tidak berlebihan.

    Renata menghampiri Delina yang membawa lumayan banyak belanjaan di tangannya. Dia menggelengkan kepala melihat sahabatnya yang selalu kalap tiap belanja.

"Yakin, cuma beli itu?" tanya Delina sekali lagi. Meski dia tau jawabannya akan tetap sama tapi Delina tidak yakin. Kadang dia sedih melihat sahabatnya yang tidak loyal pada diri sendiri.

"Aku cuma perlu ini sih." yap, Renata si penganut skala prioritas. Alih-alih menumpuk barang dia lebih suka membeli yang perlu dan penting untuknya.

    Delina tidak memaksa lagi dan mereka berjalan ke kasir. Saat mengulurkan beberapa lembaran merah, Delina menginterupsi. Memasukkan kembali ke dompet Renata dan mengulurkan kartu kreditnya.

"Apa sih Del?!" tegur Renata tidak terima.

"Gue aja yang bayar."

"Tapi bajuku?" Delina tidak mendengar protesan Renata.

"Nggak pa-pa. Ambil aja sih." Renata menghela nafas melihat tingkah Delina.

    Dia tau Delina itu anak orang kaya dan punya banyak uang. Tapi dia tidak terlalu suka dibayarin gadis itu. Bukan apa-apa dia merasa masih mampu.

"Masih kesal?" tanya Delina saat keduanya singgah disebuah restoran di dalam Mall.

"Aku masih mampu beli,Del." decaknya.

"Aku tau kamu mampu, tapi benaran ini tuh traktiran gye karna dapat bonus." Mata Renata memicing untuk memastikan. Melanjutkan kembali makannya saat tidak menemukan tanda-tanda Delina berbohong.

               ***

   

    Sejak malam itu Fadly tidak pernah menemuinya lagi. Renata juga malas menghubungi duluan. Dia merasa Fadly semakin banyak berubah. Atau memang itulah sikap aslinya yang baru kelihatan sekarang.

      Semakin hari Renata semakin tidak mengenali Fadly lagi. Perubahan lelaki itu sungguh drastis sekali. Dan pikiran yang terlintas dari mana Renata merasa hubungan mereka kian hambar saja.

       Fadly semakin kasar dan tidak terkendali. Rasanya menjadikan lelaki itu pasangan hidup perlu dipikir ulang. Cinta boleh saja. Tapi bodoh jangan

"Pacaran aja tempramennya sudah buruk, apalagi nanti." itu yang dikatakan Delina sebelum mereka berpisah.

"Kamu tau kenapa aku memilih Pandu daripada Reza?" ingatan Renata langsung mengarah pada Reza. Orang yang pernah dicintai Delina bertahun-tahun silam.

"Mas Pandu memang pendiam tapi dia punya kesabaran extra menghadapiku. Kita perempuan selalu luluh sama orang yang memperlakukan dengan baik. Sekalipun aku cinta Reza tapi ternyata itu nggak cukup. Perasaanku bukan hal penting untuknya."

   Renata terdiam cukup lama memikirkan ucapan Delina. Perkataan sahabatnya itu merasuk ke dalam hatinya. Sebahagian hatinya membenarkan. Sisi hatinya yang lain menyangkal. Renata seperti dipersimpangan kali ini.

*Selasa, 18 Agustus 2020/Selasa, 19 Oktober 2021.

Apa Kabar Hati?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang