"Apapun yang hilang darimu akan digantikan. Dalam bentuk yang lebih baik. Yang tidak disangka-sangka."
-Unknown-*
"Kalau itu aku bagaimana?"tanpa sadar Renata menahan nafas. Walau sudah membaca gelagatnya, tapi saat Praha berbicara selantang itu tetap saja rasanya berbeda. Seperti ada kepakan kupu-kupu di perutnya. Membuat jantungnya berdebar tak karuan.
"Kamu nggak lagi bercanda,kan?" selidik Renata yang lebih mirip pernyataan ke diri sendiri.
Praha menggeleng. Matanya kembali memandang lekat Renata setelah sebelumnya lurus ke depannya. "Aku nggak pernah ragu sama perasaanku sendiri."
"Perasaan ini bukan sesaat. Karena dia pernah ada bertahun-tahun lalu."
Renata mendongak dan menelisik, alih-alih kebohongan dia semakin menemukan kejujuran disana. Membuatnya terdiam kaku."Aku pikir perasaan itu udah nggak ada lagi. Jeda diantara kita lumayan lama."
"Tapi aku salah. Saat melihatmu kembali perasaan itu hanya terkubur sementara sebelum kembali muncul."
Renata semakin terhenyak. Tidak pernah membayangkan kalau Praha pernah menaruh rasa selama ini.
Renata hanya bisa terdiam. Bingung mau mengatakan apa. Otaknya serasa blank. Begitu juga Praha. Keheningan benar-benar menyelimuti keduanya. Tanpa ada yang berniat mencairkannya.
"Kamu boleh ambil waktu dan memikirkannya."Praha menyela kebisuan diantara mereka. Dan mengantarkan Renata pulang. "Aku selalu menunggu."
Sepanjang jalan keheningan benar-benar mendominasi. Praha fokus menyetir. Sedang Renata dengan pemikiran yang entah kemana.
Terlebih aku selalu menunggu, seakan menyiratkan kalau pria itu benar-benar menunggunya selama ini. Ada bagian dari hatinya bergetar mendengar pengakuan itu.
*
Renata menemui Dido. Dibanding semuanya pendapatnya paling logis dan tidak memihak. Ditambah selama ini Dido yang paling tau bagaimana Praha.Sekaligus paling faham perasaan Praha sejak dulu. Karena keduanya paling dekat.
Dia butuh mendengar pendapat dari sudut pandang lain. Sisi yang tau bagaimana mereka selama ini.
"Meski terkesan lambat tapi seperti Praha yang aku kenal dia sungguh memperhitungkan langkahnya."ucap Dido begitu Renata menceritakan perihal Praha kemaren.
Renata menyetujui pendapat Dido. Pendekatan Praha terkesan halus tapi entah kenapa tepat sasaran. Hingga Renata kelabakan sendiri meraba hatinya.
"Benar-benar pengacara yang kapan tau saatnya menyerang."kerling Dido menggoda Renata yang mencebik.
Mengedikkan bahu, Renata menyeruput es teh yang di pesannya. "Nggak ada salahnya dicoba. Lo kenal dia dan kenal keluarganya." Dido mengucapkannya dengan santai.
Alih-alih pendapat, Renata sebenarnya lebih membutuhkan untuk diyakinkan.
"Begitu juga sama sebelumnya."pahit Renata "berakhir gagal."kecutnya.
Dido mengangguk kecil. Faham sekali maksud Renata. "Mengenal Praha dan mantanmu itu tidak bisa disamakan."
"Waktumu mengenal mereka tidak bisa disangkal kalau Praha lebih sedikit. Tapi,Ren, diantara waktu yang sedikit itu kamu pasti menemukan hal-hal kecil yang membuatmu tau kalau mereka berbeda."
Renata diam. Tidak menyangkal.Apa yang dikatakan Dido benar sekali.
"Pacaran lama tidak pernah menjamin kamu benar-benar mengenal pasanganmu."
"Aku mengatakan ini bukan karena sahabat Praha tapi sebagai sahabatmu juga, Praha nggak pernah berubah. Dia masih sama. Seperti yang kamu kenal dulu."
*
Hampir seminggu keduanya ditimbun kesibukan. Dan Praha menepati janjinya untuk menunggu apapun keputusannya.
Tidak pernah memaksakan kehendaknya. Pria itu hanya mengabarinya seperti biasa. Tidak terlihat menyinggung pembahasan mereka terakhir kali.
Tanpa sadar Renata membandingkannya dengan yang sebelumnya. Meski tidak mau memikirkan ke arah sana tetap saja ada saatnya dia membandingkan keduanya. Seperti kali ini.
"Sibuk banget ya?"tanya Renata begitu mereka bertemu sore itu seusai pulang kerja.
Rambut Praha terlihat lebih panjang dari terakhir mereka bertemu. Kesibukan pria itu agaknya sampai menyita waktu pribadinya. "Masih bisa ke-handle"ucapnya sambil tersenyum."Kalau nggak sibuk aku pasti pikirannya nemuin kamu terus."tawanya mengerling.
Renata tertawa pelan sembari merapikan rambutnya ke belakang. Praha yang melihatnya tersenyum dan memandang Renata lembut.
"Jangan sampai sakit aja. Terus jaga kesehatan."peringatnya yang diangguki Praha.
Pria itu tertawa mendengar nada khawatir sekaligus perhatian perempuan di depannya. "Perhatian nih ceritanya,"ledek Praha memandang lekat Renata.
"Apa,sih,"Renata berusaha menutupi rona merah muda yang menghiasi pipinya.
"Jadi aku diterima nih?" seringai Praha tak berhenti memandangi Renata meski gadis itu memilih menunduk sejak tadi.
Renata mendengkus geli sebelum mengalihkan pandangannya ke depan. Kembali membuang pandangan begitu bersitatap dengan mata yang selalu memandangnya dengan hangat sejak tadi.
Renata sungguh malu dan tidak kuat di tatap sedemikian rupa. Tidak pernah diduganya kalau mereka bisa berbicara sesantai ini. Membahas hubungan keduanya.
Harus Renata akui, Praha teman ngobrol dan diskusi yang asyik. Keduanya juga tidak pernah kekurangan bahan obrolan selama ini.
"Nggak ada salahnya dicoba."lirihnya tersenyum malu. Menerbitkan senyum cerah Praha.
Awalnya Praha tersenyum sebelum lengkungan bibirnya tertarik dan menerbitkan tawa renyahnya.
"Yes."pekik Praha yang semakin membuat Renata malu karena mereka jadi pusat perhatian.
"Ih,malu tau."deliknya. Tapi Praha cuek aja. Malah kian gemas melihat ekspresi malu-malu yang jarang dilihatnya tersebut.
Kalau tidak ingat mereka sedang di tempat publik, Praha ingin rasanya menerjang Renata dan mengurungnya dalam pelukannya.
"Aku ingin kita lebih saling kenal setelah itu. Saling terbuka." Usul Renata yang disetujui Praha.
Niatnya memang begitu. Dia ingin mereka lebih dekat lagi untuk tahap selanjutnya. Karena di usia sekarang Praha sudah memikirkan untuk membina hubungan yang lebih serius. Bukan lagi hubungan main-main yang tidak jelas juntrungannya.
Sepanjang jalan senyum Praha tidak pernah luntur. Tau kalau Renata bakalan menerimanya, Praha bakalan menjemput Renata sehingga mereka tidak pulang dengan kendaraan masing-masing seperti saat ini.
Praha mengiringi Renata yang berkendara di depannya. Mengiringi motor wanita itu dalam jarak dekat. Begini saja Praha sudah bahagia. Apalagi kalau bisa satu kendaraan.
*Kamis,28 Juli 2022.
Hari ini aku ulang tahun. Pergantian usia yang banyak memberi pelajaran untukku. Tentang ikhlas, menerima, bahkan memaafkan sekalipun sulit. Terutama memaafkan diri sendiri.
Aku tidak berharap banyak,selain semakin dekat sama Allah, sehat jasmani dan rohani serta dicukupkan segala yang kurang.
Btw, padahal janjinya cerita ini akan kelar sebelum ulang tahunku, apa daya ekspektasi tidak sesuai realita. Semoga mood nulis kembali lancar dan ide terus jalan terus. Terimakasih untuk semua yang selalu mendukungku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa Kabar Hati?
RomanceRenata Syahbana dan Fadly Rajasa sudah menjalin hubungan selama 8 tahun. Tepatnya sejak mereka duduk di bangku kuliah sampai bekerja seperti saat ini. Bisa dibilang mereka selalu disebut couple goals orang-orang disekitarnya. Tapi tanpa disadari...