I.

431 56 7
                                    

"Kau tau apa yang paling menyakitkan selain cinta bertepuk sebelah tangan? Berharap!"
                -Unknown-




      Sesakit apapun rasa yang ditanggungnya, Renata jarang menampilkan kelemahannya di hadapan orang lain. Fadly sekalipun. Meski terkadang lepas control tapi tetap saja meledak-ledak bukanlah Renata.

       Dia tergolong tenang dan tidak gegabah. Seperti saat ini, Renata tetap tenang di hadapan Fadly. Gadis itu tetap menghabiskan makanannya kendati sebenarnya tidak nafsu makan.

"Kemaren aku sibuk yang waktu kamu nelpon." Renata tersenyum tipis terlihat tidak peduli.

"Nggak pa-pa, bukan hal penting kok." Renata menghabiskan minumannya.

         Sekalipun dia ingin mengatakan kedatangan Silvia Dewi tapi Renata tidak akan melakukan itu. Bagaimana pun dia tidak ingin pria ini ribut dengan Ibunya.

        Selagi masih bisa ditolerin Renata dia akan memilih diam. Mau melawan pun dia tidak punya power. Bukan pasrah, hanya realistis. Melawan tidak akan mengubah kenyataan kalau dia tetap tidak diinginkan di keluarga Rajasa.

"Kerjaan kamu ok?" Renata mengubah topik percakapan. Muak rasanya mendengar pembelaan pria itu.

"Gitu-gitu aja sih."

       Pemikiran yang entah berasal darimana, Renata merasa topik pembicaraan dengan Fadly semakin monoton dan membosankan. Tidak ada lagi binar antusias seperti dulu.

        Rasanya hambar, seperti masakan tanpa garam. Mau seenak apapun tanpa garam rasanya itu hambar. Sama seperti hubungan mereka.

       Fadly yang sering ingkar janji, Renata yang selalu memaklumi. Siklus yang terus berulang-ulang menjadikannya sudah biasa. Tidak ada lagi rasa hangat saat keduanya menghabiskan waktu seperti saat ini.

"Kamu nggak niat pindah profesi agar Mama kamu senang?" tanya Renata hati-hati. Topik ini begitu sensitif sebenarnya, tapi entah keberanian darimana Renata mengangkatnya kepermukaan.

          Fadly memandangi Renata sekilas sebelum akhirnya menghela nafas dengan kasar "Kamu tau usaha bengkelku itu pembuktian ke mama kalau aku juga bisa seperti anak kesayangannya itu." tegas Fadly. Matanya menyiratkan ketidaksukaan.

"Kamu kembali ke pabrik tanpa harus meninggalkan bengkel,Ly." dengan lembut Renata mengusap lengan Fadly.

"Aku nggak bisa!" jawaban itu sekaligus menutup topik mereka tentang pekerjaan Fadly.

         Renata bukannya meremehkan, hanya saja dia ingin Fadly dan Mamanya berbaikan tanpa perang dingin lagi. Sejak dulu Fadly memang hobby mengutak-ngatik mesin.

         Saat kuliah keluarga menyuruhnya mengambil jurusan management atau bisnis tapi malah mengambil tehnik mesin. Tentu saja papanya berang. Tapi mereka akhirnya luluh saat Fadly tidak mau mengalah. Sedari dulu Fadly memang orangnya keras dan susah dibantah.

Fadly di izinkan kuliah tekhnik asal ikut mengurus pabrik makanan ringan mereka yang saat itu sedang berkembang. Dasarnya Fadly tidak suka dari awal hanya setahun bertahan disana. Dia keluar dari pabrik dan membuka bengkel.

          Penghasilan pria itu memang lumayan, hanya saja keluarganya tetap tidak suka karna semua keturunan Rajasa itu bekerja rapi dan duduk di depan laptop. Hanya Fadly yang terlihat dekil dengan seragam mesinnya. Namanya gengsi tidak peduli dengan pendapatan memang.

          Disatu sisi Renata sungguh kasihan melihat Fadly begitu ditekan keluarganya. Mungkin itu yang menyebabkan pria itu mudah emosi. Namun di sisi lain tidak nyaman dengan perang dingin keluarga tersebut.

           Apalagi akhir-akhir ini usaha Fadly bermasalah. Dia ditipu rekannya puluhan juta. Untunglah masalahnya perlahan menemukan titik terang. Namun hal itu selalu diungkit keluarganya.

      Fadly disuruh balik dan meneruskan usaha keluarga yang sudah pasti pendapatannya. Daripada mengurusi bengkel yang masih menunggu dan mencari pelanggan. Yang langsung ditolaknya mentah-mentah.

        Renata memeluk lengan Fadly yang dibalas dengan pelukan lebih erat. Mereka saling menguatkan.

"Terimakasih, selalu bertahan untukku." Fadly mengecup lembut keningnya. Renata diam tanpa ekspresi sama sekali.

                   ***

       Renata kembali ke rutinitas awalnya setelah liburan usai. Senyumnya merekah begitu mendapat pelukan dari anak didiknya.

"Kangen,Miss." Renata menghangat mendengarnya dan membalas pelukan anak-anak kecil itu dengan erat.

"Miss juga kangen kalian."

Masih hari pertama kegiatan belajar-mengajar belum dimulai. Mereka hanya melakuka salam-salaman dan makan-makan setelah anak didiknya pada pulang.

Kepala sekolah memesan makanan katering untuk konsumsi mereka. Mereka makan bersama di ruangan guru dengan duduk saling melingkar.

Renata memasukkan beberapa buku ke dalam lokernya. Dan menaruh sebahagian ke dalam tottebag yang dibawanya. Sebelum pulang ke kos.

"Jalan yuk!" tau-tau Delina sudah berada dihadapannya. Renata mengerutkan kening melihat kedatangan sahabatnya.

"Ngapain disini?"

"Lagi gabut di kantor," mendengar jawaban Delina, Renata masuk ke dalam mobil.

Renata memperhatikan raut wajah tidak bersahabat Delina. Mukanya masam dan cemberut.

"Kamu kenapa sih?" tanya Renata heran. Biasanya meski judes Delina jarang cemberut.

"Kesal gue sama Pandu,"

"Kenapa?" Renata dengan sabar mendengarkan meski sudah menebak jawabannya.

"Tuh orang kerja mulu." Nah! Tebakan Renata tidak meleset. Dengan membuang rasa kesalnya, Renata berusaha tersenyum.

"Dia kerja Del,"

"Tapi masa seminggu di luar kota dan nggak ada kabar." ketusnya

"Udah dikabarin duluan?" gelengan kepala Delina membuat Renata menepuk kepalanya. "Ya hubungin dong," gemesnya.

"Ogah,"

"Jual mahal itu pada tempatnya." sindir Renata jengkel.

"Masa aku duluan sih yang hubungin."

"Selama ini mas Pandu terus yang berinisiatif apa salahnya kalau gantian. Lagian gengsi justru buat galau."

"Gitu ya," sepertinya Delina mulai menyadari keegoisannya.

"Perlu gue telponin?" tantang Renata yang dibalas gelengang gadis di sampingnya.

"Dapat Mas Pandu harusnya kamu bersyukur Del. Lihat hubunganku seperti apa. Yang kamu alami itu hanya hal remeh dan sepele."

Delina diam dan sibuk dengan setirnya. Renata juga tidak banyak omong lagi. Membiarkan Delina menyadari semuanya.

        Sahabatnya itu terlalu egois dan menang sendiri. Tidak bersyukur mendapatkan Pandu yang luar biasa baik dan sabar menghadapinya. Tidak sepertinya yang entahlah. Renata terkadang muak sendiri mengingat hubungannya selama ini seprtti apa.

*Kamis,01 Oktober 2020/Sabtu, 06 November 2021.

Apa Kabar Hati?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang