J.

386 51 11
                                    

        "Harta yang paling berharga keluarga"
                            -
       

   

        Butuh pemikiran yang panjang serta  keberanian bagi Renata mengajak Fadly bertemu. Setelah beberapa minggu tanpa tatap muka.

       Dulu selalu ada rindu tiap mereka berjauhan. Selalu ada antusias di setiap pertemuan-pertemuan mereka. Sekarang perasaan itu entah kemana. Menguap tak berbekas.

       Renata malas menghubungi duluan sedang Fadly yang semakin tidak jelas. Rasanya hubungan mereka yang sudah bertahun-tahun tidak ada artinya. Tidak ada lagi cinta yang menggebu yang ada hanyalah formalitas semata.

"Ada apa?" tanya Fadly begitu mendudukkan dirinya. Khas dirinya. Tidak suka basa-basi dan tidak sabaran.

"Aku merasa hubungan kita semakin jauh saja," Renata memulai percakapan setalah lama saling diam. Tanpa memandang Fadly. Rasanya ada sakit tak kasat mata kala netra mereka bersirobok. Tatapan itu, dia tidak mengenalinya lagi.

    Dia juga sedang tidak ingin berbasa-basi. Lebih baik diutarakan secara langsung. Toh, tanpa perlu dijelaskan mereka sebenarnya menyadari seperti apa hubungan mereka belakangan ini.

"Kenapa gitu?" heran Fadly. Matanya menyipit tak suka.

"Kamu juga merasakan itu. Daripada kita saling mendustai diri sendiri kenapa tidak kita akhiri saja?!" pernyataan gamblang Renata membuat Fadly emosi.
  
       Rahangnya mengeras. Dan tatapannya semakin menajam. "Jangan aneh-aneh." bentaknya dingin.

"Aneh apa sih? Justru dengan begini kita tidak saling menyakiti lagi." kecut Renata menyadari kalau selama ini Fadly sudah terlalu dalam melukainya.

"Hubungan kita udah lama Ren. Dan kita juga berencana nikah."

"Masih rencana. Mumpung belum terlanjur kenapa tidak kita sudahi saja." santai Renata menutupi kesakitannya. Fadly menyugar rambutnya. Berusaha meredam emosinya. Tangannya mengepal erat.

   Renata sebenarnya takut saat ini. Emosi Fadly terlihat tidak stabil. Dia takut pria itu melayangkan tangannya.

"Aku sayang kamu, Ren. Kamu tau itu." tekan Fadly. Menormalkan kepalan tangannya ketika menyadari Renata tak melepaskan kontak dengan tangannya yang mengepal erat.

"Kamu hanya terbiasa dengan kebersamaan kita selama ini." lirih Renata yang mirip seperti bisikan sembari melayangkan pandangan ke arah lain.

"Ren," raut wajah Fadly mulai melunak kala mendapati tatapan sakit di mata Renata.

"Mumpung semua belum terlambat. Lagipula aku sadar seberapa mau sekeras apapun berusaha itu nggak akan melunturkan ketidaksukaan orang tuamu padaku."

"Mama datangin kamu?" Renata diam. "jawab Ren!" Fadly memegangi lengan Renata. Mencengkram bahu Renata dengan kuat. Tapi gadis itu bergeming. Seakan tidak merasakan sakit lagi.

"Nggak penting Mama kamu datang atau nggak. Aku yang gagal yakinin beliau." Fadly melepas cengkramannya.

"Ok, kalau ini mau kamu." tanpa mengatakan apapun lagi Fadly pergi.

      Renata menangis kala memandangi kepergian Fadly. Bagaimana pun rasanya tetap sesak. Mereka sudah bersama melewati ribuan hari. Tapi takdir tidak pernah memihak keduanya.

      Berakhir. . .
      Harusnya sejak dulu Renata sadar kalau ujung dari hubungan mereka akan seperti ini. Bagaimana pun dia mencoba dia tidak pernah dilirik keluarga itu. Renata hanya akan menyakiti diri kalau mencoba terus memaksa bersama.

Apa Kabar Hati?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang