Chapter 06: Si Anak

2.8K 315 2
                                    

15 tahun lalu

Kala itu, cuaca sedang cerah. Istana terasa damai. Masyarakat beraktivitas seperti biasanya; bertani, mencari ikan, menimba air, memeras susu sapi, berjualan di pinggir jalan. Para abdi kerajaan juga sedang melakukan tugasnya. Dan sepertinya hari-hari sebelumnya, Dyah Nimas ingin jalan-jalan sehabis mandi.

Putri kecil Gandawarman itu senang sekali menghabiskan waktu di telaga sebelah timur Kertasena. Ditemani Rumi, ia menaiki kereta kuda menuju ke tempat itu. Sesampainya di sana, senyum lebar terukir di bibirnya. Terlihat sekali bahwa ia sedang bersemangat melihat hamparan air hijau yang begitu jernih.

Namun senyumnya pudar tatkala ia melihat seorang anak perempuan, memiliki postur tubuh lebih tinggi darinya, ekspresinya langsung berubah bingung.

Bagaimana tidak, gadis itu memukuli pohon dengan tangan kecilnya yang mengepal sambil mengeluarkan teriakan yang terdengar begitu berapi-api.

Ha! Ha! Ha! Ha!

Dyah Nimas masih tidak mengerti dengan tingkahnya. Kenapa memukuli pohon yang tidak bersalah.

“Siapa di sana!” teriakan Rumi tiba-tiba membuat gadis itu tersentak mundur.

Rumi dengan sigap membawa Dyah Nimas ke belakang tubuhnya. Melindungi majikan kecilnya dari serangan gadis asing di depannya.

Mungkinkah ia seorang berandalan? Sikapnya sama sekali tidak anggun. Tak mencerminkan seorang perempuan.

Tanpa pikir panjang si anak itu berlari tunggang-langgang menjauh dari mereka. Dyah Nimas hanya dapat melihat kepergiannya dengan sorot mata polosnya. Ia kemudian menoleh ke arah pohon yang tadi dipukuli dan mendekatinya. Kali kecilnya melangkah cepat.

“Rusak! Pohon ini sudah rusak!” teriaknya dengan suara khas anak kecil begitu melihat kulit pohon di hadapannya terkelupas.

Rumi datang dan terkejut bukan main melihat kerusakaan yang telah dibuat anak tersebut. Bagaimana bisa anak itu berhasil mengelupaskan kulit pohon yang begitu keras.

Hari berikutnya, Dyah Nimas berharap dapat bertemu dengannya. Ia sudah menceritakannya kepada ayahnya.

Tapi nihil, ia harus menelan kekecewaan. Karena sampai menjelang sore, keberadaan si anak yang ia tunggu tak kunjung muncul.

Sampai pada akhirnya hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Keberadaan anak itu tetap tidak terlihat. Namun anehnya, kerusakan di pohon yang sebelumnya semakin parah. Dan tidak hanya di satu pohon saja, entah siapa namanya, dia merusak beberapa pohon di sekitar telaga.

Menandakan bahwa si anak sebenarnya datang.

Tapi sengaja tak menampakkan diri.
Kenapa?

Padahal Dyah Nimas sangat ingin bertemu. Siapa tahu bisa diajak bermain masak-masakan.

Iya, 'kan?

Kelakuan anak itu sungguh menimbulkan tanda tanya besar dibenak Rumi. Membuatnya selalu menerka-nerka siapa dia dan siapa orangtuanya. Bagaimana cara mereka mendidiknya sampai anak itu memiliki kekuatan yang sebegitu kuatnya.

Tak terasa 1 tahun berlalu.

Dyah Nimas sedang bermain masak-masakan bersama Rumi ketika dirinya merasakan keberadaan orang lain di dekatnya. Ia menoleh ke kanan. Pupil matanya membesar melihat seseorang mengintipnya dari balik pohon.

Seorang anak perempuan. Yang tak lain adalah orang yang selama ini ia tunggu kedatangannya.

Melihat itu, Dyah Nimas langsung berdiri, tersenyum dan berusaha mendekat. Namun Rumi menahan tangannya.

“Diajeng tidak boleh ke sana,” tuturnya yang seketika dibalas tatapan sedih.

Dyah Nimas hanya bisa menatap diam. Mereka saling bertatapan cukup lama. Sampai perlahan, anak itu keluar dari persembunyiannya. Memperlihatkan setengah badannya. Mata Dyah Nimas langsung tertuju pada tangannya yang penuh luka.

“Saya tidak akan pergi!” Tiba-tiba anak itu berteriak. “Tempat ini! Saya yang menemukannya lebih dulu! Saya tidak mau pergi lagi!” Ia terus berteriak tanpa gentar.

Rumi menghela napas. Dasar anak kecil. Telaga itu sudah ada bahkan sebelum kerajaan Kertasena lahir. Seenaknya saja mengklaim.

Setelah mengatakannya, si anak mendekat ke salah satu pohon dan mulai menjadikannya samsak tinju. Untuk kesekian kalinya.

Siang itu, Dyah Nimas membiarkan mainannya tergeletak begitu saja. Dari celah pepohonan, ia lebih memilih memperhatikan anak itu berlatih.

Esoknya, senyum Dyah Nimas merekah lebar melihat kehadiran anak itu lagi. Kali ini Dyah Nimas membawa kendi kecil. Yang akan ia berikan kepadanya.

Tetapi keberaniannya menciut. Alih-alih mendekat, ia hanya bisa terdiam kaku bak sebuah patung ukir.

Rumi yang melihat ketidakberdayaan anak asuhnya berinisiatif membantu.

“Hei! Kamu!”

Anak pemukul pohon menoleh merasa dirinya dipanggil.

“Mendekatlah!” seru Rumi lagi.

Dengan tatapan curiga, anak itu mendekat. Berjalan penuh kehati-hatian. Jantung Dyah Nimas bergejolak, bersemangat sekali ingin memberikan hadiahnya.

Maka saat jarak mereka semakin dekat, ia menyodorkan kendi tersebut. “Untukmu,” katanya singkat, tersenyum senang.

Menatap ragu sejenak, kendi itu diterima kemudian dibuka. Aromanya menyengat sekali. Tangan kecil anak itu mengambil sesuatu dari dalam. Seketika matanya melebar.

Tumbukan daun herbal.

Anak itu menatap Dyah Nimas untuk sepersekian detik. “Saya tahu kamu. Kamu pasti anaknya Maharaja.”

Dyah Nimas mengangguk kencang sebagai jawaban. Masih mempertahankan senyum lebarnya.

“Maaf kalau saya bersikap buruk.” Tanpa disangka, anak itu menundukkan kepalanya.

Rumi melihat itu tak berkomentar.

“Siapa namamu?” tanya Dyah Nimas kemudian.

“Ayu Shita.”

Dyah Nimas mengangguk lagi, berinisiatif untuk mengajaknya berjabat tangan. Tapi saat ia mencoba meraih tangan itu, Ayu Shita terlebih dahulu menariknya.

“Jangan disentuh. Tangan saya kotor.”

“Tidak!” Dyah Nimas menggelengkan kepala. “Tangan kamu tidak kotor. Tapi terluka.”

Ayu Shita melihat punggung tangannya sendiri. Iya, penuh luka lecet.

“Harus diobati,” kata Dyah Nimas mencuri perhatiannya lagi.

Ayu Shita menutup kembali kendinya. Berjalan mendekati telaga. Ditaruhnya kendi itu di dekat kakinya, ia lalu berjongkok untuk membasuh kedua tangannya.

Dyah Nimas menyusulnya, duduk dengan anggun di sebelahnya. Matanya berbinar memperhatikan teman barunya membersihkan tangan dan mengoleskan obat yang ia berikan pada lukanya.

Kekasih Sang RatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang