Chapter 37: Pengorbanan Putri Mahkota

2K 291 47
                                    

“Aku istrimu, Shita! Kamu tega menikahkan istrimu sendiri dengan orang lain?!” jerit Dyah Nimas parau saat berada di sebuah kamar peristirahatan. Air matanya mengalir deras setelah dia tahan di hadapan Maharaja Rakai. Matanya nanar penuh kekecewaan dan sakit hati melihat istrinya hanya berdiri tegak di hadapannya.

“Apa pernikahan kita kemarin hanya permainan untukmu?” tanyanya dengan suara tercekat sampai tak sanggup mengeluarkan suara. Tenggorokannya panas dan perih.

Ayu Shita menjawab tenang dengan wajah datar. “Saya hanya ingin mengabulkan keinginan Dek Ayu.”

Sakit.

Dyah Nimas benar-benar tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Benarkah yang berbicara di hadapannya sekarang merupakan wanita yang sama seperti yang menikahinya semalam?

Untuk pertama kali dirinya merasakan sakit hati yang luar biasa sakit. Dada kirinya seolah disayat sebilah pisau, paru-parunya terasa sesak, livernya perih, seisi perutnya seperti diaduk membuat asam di lambungnya naik menyakiti kerongkongannya.

Dan semua itu dilakukan oleh orang yang paling dia cintai.

Dyah Nimas hanya bisa menangis untuk meluapkan segala emosinya. Marah, sedih, kecewa, bingung bercampur aduk. Yang lebih mengecewakannya lagi adalah, meski Ayu Shita telah mengkhianatinya, dia tidak bisa membencinya. Hatinya sudah terlalu jatuh.

Ayu Shita yang sejak memasuki gerbang telah memantapkan dirinya, menguatkan hati untuk tidak goyah atas keputusannya, akhirnya pertahanannya mulai runtuh. Dia perlahan berlutut, bersujud di kaki istrinya. Di saat itulah kedua matanya meneteskan air mata.

“Maafkan saya.” Setelah mengatakan itu dia menangis. Sebagai Mahapatih dia merasa gagal karena harus menumbalkan Dyah Nimas dalam keputusannya. “Saya tahu ini sulit, tapi sebagai Putri Mahkota, Dek Ayu harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan kerajaan.”

Tangisan Dyah Nimas berhenti, dengan wajah basah oleh air mata, dia menunduk menatap Ayu Shita sambil menunggu ucapannya selanjutnya.

Ayu Shita menahan tangisnya. “Satu-satunya harapan mereka adalah kita. Satu-satunya harapan saya adalah Dek Ayu. Nasib orangtua kita ada di tangan kita berdua.” Dengan bibir bergetar dan air mata yang semakin susah untuk ditahan, Ayu Shita semakin menunduk meski kepalanya sudah menyatu dengan lantai. “Saya berjanji akan menerima hukuman yang diberikan. Saya tidak akan menolak jika setelah ini saya akan dibunuh sekalipun. Tapi saya mohon... tolong selamatkan kami.”

Air mata Dyah Nimas kembali mengalir. Lihat? Bagaimana dia bisa membenci wanita di hadapannya jika sebenarnya hatinya sebaik itu. Benar mereka sedang terpojok, benar mereka tidak memiliki banyak pilihan. Tapi jika keberadaannya bisa membantu, kenapa dari awal Ayu Shita tidak mengatakannya.

Ini memang menyakitkan. Namun jika pengorbanannya dapat menyelamatkan semua orang—termasuk orangtua mereka—bukankah sebagai anak dan Putri Mahkota dia harus mencobanya?

Dyah Nimas bersimpuh, kedua tangannya terulur untuk mengangkat kepala Ayu Shita agar menatapnya. Mereka saling melempar tatapan terluka. Tak bisa dibayangkan seberapa besar rasa sakit yang Ayu Shita rasakan. Orang waras mana yang dengan ikhlas menyerahkan pasangannya kepada orang lain.

“Kenapa kamu tidak bilang dari awal? Jika aku adalah satu-satunya harapan untuk menyelamatkan orangtua kita, aku pasti akan melakukannya. Kenapa harus menyakitiku seperti ini?”

Ayu Shita menunduk tak berani melihat langsung kedua mata Dyah Nimas yang menatapnya penuh luka. “Maaf,” gumamnya.

“Kamu benar, kita tidak memiliki pilihan lain.” Entah seperti apa takdir yang mereka hadapi nanti, untuk sekarang Dyah Nimas hanya mengikuti alur yang diberikan alam semesta. Keselamatan keluarganya adalah hal yang paling penting. “Aku akan menikah dengan Maharaja. Meski statusku menjadi istri kedua.”

Tangis Ayu Shita pecah tak terkendali. Dia kembali bersujud di pangkuan Dyah Nimas untuk meminta maaf sambil tersedu-sedu. Dia telah gagal. Gagal sebagai pasangan dan gagal sebagai pelindung karena justru dia lah yang melukainya.

Dyah Nimas diam mengusap kepalanya. Dadanya terlalu sesak untuk sekedar mengucapkan sepatah kata.

***

Setelah mereka berunding bersama di balai pertemuan, Maharaja Rakai beserta istrinya dan jajaran para mantri lainnya sepakat untuk mengirimkan tidak lebih dari lima ratus prajurit sebagai bala bantuan kepada Dyah Nimas selaku pewaris takhta Kertasena.

“Lima ratus prajurit dan Mahapatih Aksa akan membantu kalian. Bagaimana?”

Dyah Nimas tersenyum. “Itu sudah lebih dari cukup, Maharaja.”

“Sayangnya aku tidak bisa menemani kalian karena beberapa hari lagi istriku akan melahirkan,” sesal Maharaja Rakai. “Tapi tidak perlu khawatir, Aksa tidak kalah hebat dari Shita,” imbuhnya tersenyum hangat.

Dyah Nimas tersenyum sekali lagi. “Saya bersyukur mendengarnya.”

Maharaja Rakai mengalihkan perhatiannya kepada lelaki bernama Aksa Janari. “Siapkan pasukanmu sekarang, gunakan semua kapal yang tersisa.”

“Baik, Maharaja.” Aksa menganggukkan kepala.

“Rapat dibubarkan.” Mereka semua berdiri dan meninggalkan ruangan.

***

Ayu Shita memandang keris kecil di tangannya sebelum menyimpannya ke dalam selendang, kemudian mengambil dua pedang dan menyelipkannya di pinggang kiri dan kanannya. Dia sudah tak memerlukan baju zirah lagi. Rsi mengatakan kalau ular peliharaan Ibu membuatnya kebal terhadap benda tajam. Namun dia tetap harus berhati-hati karena musuh masih bisa membakarnya hidup-hidup jika dirinya tertangkap.

“Sudah siap?” tanya Aksa di belakangnya.

Ayu Shita mengangguk mantap. “Kita bisa pergi sekarang.”

Mereka menaiki kuda bersama ke istana utama dimana Maharaja Rakai dan yang lainnya menunggu. Hati Dyah Nimas mencelos melihat Ayu Shita turun dari kuda untuk memberikan salam. Jadi, mereka harus berpisah. Dia akan menunggu dengan aman di dalam istana sementara istrinya berjuang bertaruh nyawa untuknya.

“Perang selalu mengerikan. Tidak peduli selamat atau tidak, kalian tetaplah seorang pahlawan,” ujar Maharaja Rakai. “Perjuangan kalian akan selalu kami ingat.”

Dyah Nimas menggigit bibir bawahnya cemas. Jika ramalan yang dikatakan Mpu Wira memang benar, seharusnya Ayu Shita akan selamat.

“Terimakasih Aksa, Shita.”

Mereka mengangguk kecil kepada Maharaja Rakai.

“Kalian bisa berangkat sekarang.” Maharaja Rakai tersenyum.

Sebelum naik ke atas kuda, Ayu Shita tersenyum saat bersitatap dengan Dyah Nimas. Hatinya lega karena merasa telah melakukan tindakan yang tepat. Tidak ada yang tahu keadaan Kertasena sekarang, termasuk dengan Sang Raja.

Setidaknya jika dia tidak selamat, masih ada yang menjaga wanitanya.

Mata Dyah Nimas menyorot nanar melihat siluet Ayu Shita yang semakin lama semakin mengecil. Hatinya menjerit menyuruhnya untuk berhenti. Istri Maharaja Rakai merangkul pundaknya dan mengusapnya.

Dyah Nimas menoleh bertemu dengan tatapan lembut dan senyum hangatnya. Dia terlihat seperti wanita baik yang lembut nan keibuan. Lalu matanya beralih menatap perut besarnya.

“Patih Shita!” panggil Aksa membuat Ayu Shita menoleh. “Kita berpisah di sini! Jaga dirimu baik-baik!”

“Jangan khawatir! Saya akan melindungi yang lainnya!”

Aksa berbelok ke kiri memacu kudanya dengan cepat ke pelabuhan. Karena keterbatasan muatan, mereka membagi prajurit menjadi dua; pasukan air dan darat. Jadi sisanya mengikuti Ayu Shita menaiki kuda memasuki hutan. Semoga nanti Ibu membantunya lagi.

Kekasih Sang RatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang