Chapter 12: Berburu

2.4K 311 6
                                    

Semua aktifitas telah kembali seperti semula. Kini masyarakat kembali melakukan rutinitasnya. Begitupun dengan Angga, pria itu tengah memindahkan kendi-kendi yang ia buat ke gerobak ketika anak semata wayangnya mengunjungi rumah.

"Mak! Anak kita datang!" serunya keras, tersenyum lebar. Memperlihatkan guratan samar di kedua ujung matanya.

Ayu Shita mencium tangan Angga. Sebagai bentuk kehormatan kepada orangtuanya.

"Bapak mau ke pelabuhan?"

"Iya, ini mau dikirim ke luar pulau."

"Nanti Shita bantu, ya."

Angga mengangguk. Mempersilakan anaknya untuk menemui istrinya. "Sana, Mak lagi masak. Tadi juga bikin manisan."

Sebagai orangtua, apalagi dirinya adalah seorang ibu. Hati ibu mana yang tidak khawatir ditinggal pergi berperang oleh anaknya. Apalagi, Ayu Shita merupakan anaknya satu-satunya.

Jika Dewa tidak melindunginya. Entah sehancur apa perasaannya nanti. Kehilangan Ayu Shita sama halnya ia kehilangan seluruh hidupnya.

Maka dari itu, setiap anaknya berkunjung ke rumah, Surti selalu menyempatkan diri untuk menciumnya. Perbedaan tempat tinggal serta pekerjaan-sebagai prajurit dan pengawal pribadi-yang diemban anaknya, membuat mereka jarang bertemu.

Sejujurnya itu bukan masalah besar untuk Surti dan suaminya. Berkalung rindu kepada sang anak, mereka masih bisa mendoakannya agar selalu dalam lindungan Dewa.

Tidak mungkin 'kan mereka nekat datang ke istana? Itu hanya akan mempermalukan anaknya.

"Semalam Maharaja baru memberikan bayaran untukku," kata Ayu Shita begitu ibunya berhenti mencium kedua pipinya.

Ia merogoh ke dalam selendangnya, mengambil sebuah kantung, menyerahkannya kepada sang ibu. Kantung tersebut berisi kepingan koin emas dan perak. Bayarannya selama berperang di Angkasura.

Surti menerimanya dengan senyum merekah. "Terima kasih ya, Nduk. Sini makan dulu, kebetulan Mak hari ini buat manisan. Bawakan juga buat Diajeng."

"Nanti aja, Mak. Aku mau bantuin Bapak."

Ayu Shita menolak. Memilih ikut mengangkut kendi ke atas gerobak bersama ayahnya. Setelah memastikan semuanya sudah tertata rapi, siap untuk diantar ke pelabuhan, ia bantu mendorong belakang gerobak.

Dulu saat masih kecil, ia suka naik ke atas gerobak, selalu ingin ikut ayahnya mengantar barang. Waktu berlalu cepat sekali, tak terasa sekarang dirinya sudah dewasa.

Tanpa Angga sadari, anaknya tersenyum menatap punggungnya.

Sudah menjadi kewajiban Mpu Wira sebagai Mahamantri untuk selalu mengawasi keluar masuknya semua sandang dan pangan dari atau untuk kerajaan.

Karenanya ia harus mencegah segala bentuk penyelundupan ilegal untuk melindungi Kertasena.

Ayu Shita menyapanya. "Salam, Mpu." Mengatupkan kedua tangan di depan hidung.

Mpu Wira membalasnya. Mengangkat telapak tangan kanannya. "Salam. Sudah lama sekali tidak melihatmu membantu ayahmu."

"Kebetulan sedang tidak ada pekerjaan, Mpu. Semua prajurit sedang diistirahatkan. Dan Diajeng juga sedang belajar."

Ayu Shita tersenyum kepadanya. Tapi pikirannya berkelana, membayangkan ekspresi cemberut Dyah Nimas lantaran dirinya benci sekali dengan yang namanya belajar.

Wanita itu memiliki jiwa bebas. Daripada belajar dari buku, Dyah Nimas lebih suka belajar langsung dari alam.

Selagi ayahnya berbincang bersama penanggungjawab kapal. Ayu Shita mulai memindahkan satu-persatu kendi ke atas kapal.

Kekasih Sang RatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang