Chapter 22: Mahisa

1.7K 289 12
                                    

Mendengar kabar bahwa anaknya mendadak diangkat menjadi Mahapatih, Surti dan Angga bergegas berlari menuju istana. Pelantikan sedang berlangsung. Mereka melihat anak semata wayangnya dipakaikan selendang mewah berwarna hijau oleh Sri Maharani Adiratna. Dengan mata berkaca-kaca, Surti menutup mulutnya karena haru.

Adiratna menyematkan kelat bahu dengan ukiran bunga teratai di kedua lengan Mahapatih barunya. Ayu Shita tersenyum melihat perhiasan emas tersebut. Begitu indah dan menakjubkan. Tandanya, dirinya telah resmi menjadi anggota parlemen kerajaan. Sebagai pelengkap simbol seorang Mahapatih, Adiratna menyerahkan pedang dengan ukiran nama Ayu Shita pada bilahnya.

ꦄꦪꦸꦱ꧀ꦲꦶꦠ

“Terimakasih, Ratu.” Ayu Shita tersenyum menerimanya.

Adiratna kemudian memeluknya, tersenyum lembut seraya mengusap punggungnya. “Sekarang masa depan Kertasena ada di pundakmu, Shita.”

Ayu Shita mengangguk dalam pelukannya. Dia tahu hidupnya semakin tidak mudah. Ada ribuan prajurit dan penduduk biasa yang nyawanya harus dia jaga.

Untuk menutup penobatan pagi ini, Ayu Shita dan Mahisa Aryan--yang dilantik oleh Gandawarman--dituntun menuju candi kerajaan yang terbuat dari batu andesit untuk melakukan ritual puja. Mereka berlutut menggunakan kedua kaki, lalu mengatupkan kedua tangannya di depan hidung seraya menunduk memejamkan mata. Disaksikan oleh seluruh anggota kerajaan, Mpu Wira mulai memberkati mereka dengan air kembang yang sudah didoakan.

Mpu Wira memercikkan air tersebut di kepala mereka sembari merapalkan doa. Kemudian mengambil kemenyan--yang juga telah didoakan--mengarahkan asapnya ke kepala mereka sambil berjalan mengitari.

OM
BHUR BHUVA SVAHA
TAT SAVITUR VARENYAM
BHARGO DEVASYA DHIIMAHI
DHI YO YONAH PRACHODAYAT

Mpu Wira berhenti di hadapan mereka. Memutar wadah kemenyan searah jarum jam sembari terus berdoa. Puja kepada para Dewa Yang Mahabesar. Bebaskanlah kedua anakmu ini dari berbagai penyakit. Hindarkan dari segala kesengsaraan. Kabulkan segenap permohonannya.”

“Puja para Dewa di Swaraloka. Berkatilah kedua anakmu ini dengan perlindunganmu yang agung. Agar kelak bisa menjaga kerajaan, serta melindungi segenap penduduk yang tidak berdaya.

Ritual puja telah selesai. Dyah Nimas tersenyum, sedikit berlari untuk menghambur ke pelukan kekasihnya. Dilihat oleh Dyah Iswara, Ayu Shita tidak sungkan untuk membalas pelukan tersebut.

“Selamat!” ucap Dyah Nimas melepaskan pelukannya, tersenyum lagi.

“Jadi, sebelumnya Diajeng sudah tau siapa saya?” Ayu Shita menatap matanya.

Dyah Nimas mengangguk. “Awalnya Ibu yang cerita. Kenapa kamu rahasiakan itu dariku?”

“Karena saya tidak menyadarinya. Saya pikir saya hanya manusia biasa.” Ayu Shita selalu berpikir bahwa pertemuannya dengan Ratu di mimpinya hanyalah bunga tidur biasa. Kurangnya pengetahuan membuatnya terjebak dalam kebingungan selama belasan tahun. Tentang tujuan Ratu mendatanginya, ternyata untuk menemui anaknya.

“Apa itu alasanmu menyukai warna hijau?” Dyah Nimas memegang selendang baru Ayu Shita.

“Mungkin, iya. Saya hanya merasa bahwa warna hijau lebih meneduhkan.”

Dyah Nimas tersenyum. “Kamu orang yang hebat.” Kemudian memelankan suaranya agar tidak didengar oleh orang lain. “Dan aku senang, orang hebat sepertimu menjadi milikku,” ucapnya menimbulkan senyum malu di wajah Ayu Shita.

“Saya selamanya akan menjadi milik Diajeng.” Merekapun tertawa bersama. Tanpa menyadari bahwa Mpu Wira tengah memperhatikan.

Dari semua orang yang berbahagia di sana, satu yang menahan kemurkaannya. Mahisa Aditya mengepalkan tangan menatap tajam ayahnya. Mahisa Aryan yang sedang bercengkerama dengan Gandawarman, menyadari keberadaannya. Ditatap oleh sang ayah, Mahisa Aditya berlalu tanpa sudi memberikan selamat kepadanya.

“Mari kita ke istana, kita rayakan secara sederhana,” ajak Gandawarman yang langsung ditolak oleh Mahisa Aryan.

“Mohon maaf, Prabu. Bukan bermaksud tidak sopan, tetapi saya ingin menemui Aditya terlebih dahulu.”

“Benar juga, aku tidak melihat Aditya.” Gandawarman menganggukkan kepalanya. “Baiklah. Temui putramu. Dia pasti sangat terkejut.”

“Saya permisi, Prabu.”

Sebelum pergi, Mahisa Aryan menundukkan kepalanya. Sesampainya di rumah, ternyata putranya telah menunggu, berdiri memunggunginya.

Begitu dia menutup pintu, Mahisa Aditya berbalik memperlihatkan wajah penuh amarah. “Aku putramu, Rama! Harusnya aku yang mewarisi takhtamu! Bukan perempuan itu!”

Mahisa Aryan berusaha tetap tenang menghadapi emosi anaknya. “Kamu tau, Aditya? Emosimu yang tidak stabil inilah yang membuat Rama enggan menurunkan jabatan Rama padamu.”

“Omong kosong!” hardik Mahisa Aditya. “Bilang saja kalau aku lebih lemah darinya!”

“Itu tidak benar.” Mahisa Aryan mendekat, menyentuh pundak putranya. “Bukan karena kekuatan. Bukan juga perihal siapa yang kuat dan siapa yang lemah. Tapi takdir sudah memilih Shita.”

“Cih!” Mahisa Aditya mendecih, menampik tangan ayahnya dengan kasar. “Takdir? Di mana harga diri kita sebagai laki-laki jika dipimpin oleh perempuan!”

“Harga diri Rama tetap ada. Dan Rama bangga, bisa mendapatkan seorang pemimpin seperti Shita.”

Ucapan itu sangat menyulut emosi Mahisa Aditya. Dia mendecih, mengeluarkan pedangnya dan mengarahkannya tepat di leher ayahnya.

Membelalakkan mata karena terkejut dengan tindakan anaknya, Mahisa Aryan kembali menenangkan dirinya. “Kamu ingin membunuh Rama?”

“Tidak.” Sorot mata Mahisa Aditya berubah tajam dan kejam. “Aku tidak sudi harga diriku sebagai laki-laki dihina oleh Shita. Aku akan memenggal kepalanya.”

“Jangan lakukan itu!” Saking tidak percaya dengan apa yang dikatakan Mahisa Aditya, Mahisa Aryan berteriak. “Kamu tidak akan bisa menyentuhnya, Aditya.”

“Kenapa tidak!?” Mahisa Aditya semakin menempelkan bilah pedangnya di leher ayahnya. “Rama ragu dengan kekuatan anakmu sendiri? Hah?”

Mahisa Aryan memejamkan mata merasakan kebencian anaknya. Sejak kapan dia membesarkan putranya dengan perasaan benci yang begitu besar. Memenggal kepala Shita? Ratu pasti akan sangat murka.

“Jangan pernah kamu mencoba menyentuh Shita. Ini untuk kebaikanmu, Aditya,” kata Mahisa Aryan memperingatkan sambil membuka matanya.

“Kebaikanku adalah saat dia mati,” desis Mahisa Aditya. Dia menurunkan pedangnya, memasukkannya ke dalam sarungnya. Kemudian berjalan melewati ayahnya. “Aku akan pergi berlatih. Rama tunggu saja, tidak lama lagi, kepala Shita akan kubawa ke hadapanmu.”

Kepala Mahisa Aryan tertunduk lesu. Berjalan mendekati tempat tidur, dia duduk di tepi ranjang. “Kamu tidak akan sanggup, Aditya,” lirihnya.

Menengadah, Mahisa Aryan menghela napas panjang seraya memejamkan matanya lagi. Teringat dengan mendiang istrinya. “Ratih... susah sekali membesarkan anak tanpamu.”

--

Sebenarnya tulisan aksara di atas itu bukan aksara Pallawa, tapi aksara Kawi. Aku nggak tau gimana caranya nulis aksara Pallawa soalnya nggak ada keyboardnya. Tapi ternyata ada masalah, kawan :')

Awalnya aku beneran tulis nama 'Ayu Shita' pakai aksara Kawi, tapi setelah aku copy-paste di Wattpad, tulisannya kok berubah jadi aksara Jawa. Jadi tulisan aksara di atas itu sebenarnya Pallawa, tapi kuubah jadi Kawi, dan ternyata di Wattpad berubah lagi jadi Jawa. Mohon dimaklumi ya :')

Kekasih Sang RatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang