Chapter 18: Tugas

2K 299 6
                                    

Belum ada tiga puluh menit Ayu Shita tertidur di rumahnya, yang hanya berukuran sepetak, seseorang memanggilnya dari luar. Kali ini apa lagi. Baru saja dirinya beristirahat.

Dengan enggan Ayu Shita berjalan gontai, menyibak tirai pintu. Mendapati seorang laki-laki berdiri di depan rumahnya.

"Mas Panca, ada apa?"

"Mpu Wira ingin bertemu denganmu. Sepertinya ada tugas baru untukmu," kata Panca.

Pekerjaan lagi, ya?

Apa boleh buat. Menolak pun jelas tidak bisa. Lagipula dirinya juga hidup berkat kejayaan Kertasena. Ayahnya selalu berpesan agar ia menjadi perajut yang setia dan patuh kepada keluarga kerajaan.

"Ayo, kuantarkan kamu ke tempat beliau."

Di ruang kerja Mpu Wira, ternyata sudah ada Mahisa Aditya dan empat prajurit lainnya. Keheranan Ayu Shita semakin menjadi melihat kehadiran mereka. Dan ternyata Panca juga ikut berkumpul, berdiri di sampingnya.

"Semuanya telah hadir, Mpu," ujar Panca.

"Baiklah." Mpu Wira memperbaiki postur tubuhnya agar lebih tegap. "Jadi, pekan lalu, aku sudah membuat janji dengan Taka mengenai pembangunan di kerajaan Adipura. Hari ini aku ingin kalian ke sana melihatnya. Juga ikut membantu jika diperlukan. Panca yang akan menjadi kusir, dan Shita yang akan memimpin perjalanan kali ini."

Semua tatap mata kecuali Panca tertuju ke arahnya. Ayu Shita yakin pasti ada diantara mereka yang keberatan dipimpin oleh seorang wanita seperti dirinya. Tetapi sayangnya perintah Mpu Wira jelas tak dapat dibantah.

Taka adalah adik dari Panca. Pria itu ditunjuk untuk mengawasi kerajaan bercorak Hindu tersebut setelah menjadi bagian dari kekuasaan Kertasena lima tahun yang lalu. Dalam arti, Raja Adipura kalah melawan pasukan dari Raja Kertasena.

"Kalian akan berangkat sebelum matahari terbenam. Apa ada yang keberatan?"

Tak ada yang menjawab pertanyaan Mpu Wira. Maka lelaki itu menganggukkan kepalanya, menganggap semuanya bersedia. "Panca, kamu siapkan semua yang diperlukan. Kereta kuda serta sandang dan pangan yang dibutuhkan. Aku serahkan semuanya padamu."

"Baik, Mpu." Panca menjawab sambil menundukkan kepalanya lalu mengajak yang lainnya keluar dari ruangan.

Ini akan menjadi hari yang melelahkan untuk Ayu Shita.

Mengurus Dyah Nimas saja sudah menguras energinya. Ditambah ia baru saja diberi tugas dadakan oleh perdana menteri. Berkuda di malam hari sungguh tidak menyenangkan. Makhluk berbulu, bertubuh besar dan bertaring panjang serta bermata merah pasti menyorot tajam ke arahnya.

Bukannya ia takut. Sejak kecil dirinya sudah akrab dengan keberadaan makhluk itu. Hanya saja, bau busuk dan energi yang mereka keluarkan sangat mengusiknya.

Dan bukankah Mahisa Aditya masih cedera? Kenapa pria itu ikut bertugas?

"Kamu yakin mau ikut? Sepertinya kakimu masih sakit." Ayu Shita bertanya melihat Mahisa Aditya berjalan tertatih di depannya.

"Tidak apa-apa. Lebih baik aku ikut daripada bosan di rumah."

"Sebaiknya jangan memaksakan diri," kata Ayu Shita membuatnya berhenti seketika.

Mahisa Aditya menoleh. Mengukir senyum yang terkesan penuh kepalsuan. "Berhentilah mengatakan omong kosong. Aku tidak akan kalah darimu. Dan sejujurnya, aku juga tidak sudi dipimpin olehmu. Kalau saja aku tidak cedera, aku pasti akan menentang keputusan Mpu Wira."

Semua orang lantas menatap Mahisa Aditya begitu pria itu selesai berkata demikian. Panca hanya diam memperhatikan pertikaian di hadapannya. Ayu Shita sama sekali tak terpengaruh oleh ucapan tersebut. Di saat terluka, masih saja ingin bersaing dengannya. Sungguh, Ayu Shita sudah muak dengan segala tingkah lakunya selama ini.

Sangat kekanak-kanakan dan sama sekali tidak mencerminkan perilaku dari anak seorang Mahapatih.

Mahisa Aditya tak memiliki wibawa seperti ayahnya.

"Ada baiknya kamu mengesampingkan egomu untuk kesehatanmu." Ayu Shita berjalan melewatinya. Tersenyum kepada Panca. "Aku perlu menemui Diajeng sebentar. Dia pasti marah kalau aku pergi diam-diam."

"Iya. Jangan sampai kalian bertengkar lagi." Panca terkekeh kecil.

"Mas Panca tahu aja." Ayu Shita ikut tertawa.

Di kamar Dyah Nimas, rupanya wanita itu masih terbaring ditemani kakaknya. Dyah Iswara tampak mengatakan sesuatu sambil mengusap-usap keningnya. Pergerakannya terhenti ketika melihat Ayu Shita berdiri di depan pintu.

"Masuklah," kata Dyah Iswara menyuruhnya masuk.

"Saya membawa berita yang kurang mengenakkan." Ayu Shita duduk di tepi kasur. Menatap kekasihnya teduh.

"Apa?" Dyah Nimas bertanya lirih. Energinya masih belum pulih sepenuhnya.

"Mpu Wira menugaskan saya untuk ikut mengawal rombongan yang akan menuju Adipura hari ini. Bersama Mas Panca dan Aditya."

Awalnya Ayu Shita menduga bahwa Dyah Nimas akan marah. Mengingat sebelum-sebelumnya tak ingin ditinggal pergi. Namun di luar dugaannya, perempuan itu mengizinkan.

Dyah Nimas menganggukkan kepalanya. "Iya. Pergilah."

"Diajeng serius?" Ayu Shita bertanya untuk meyakinkan kekasihnya sekali lagi.

"Aku sangat serius." Dyah Nimas merajuk. Mengerutkan keningnya seraya memajukan bibirnya satu senti ke depan. Tapi kemudian tertawa karena melihat Ayu Shita masih mempertahankan ekspresi ketidakpercayaannya.

"Kenapa tidak percaya? Aku sadar bahwa keberadaanmu memang sangat dibutuhkan." Dyah Nimas tersenyum lembut. "Tidak apa-apa. Pergilah. Kamu lindungi mereka."

"Ini sebuah keajaiban." Mereka bertiga tertawa mendengar guyonan yang dilontarkan Ayu Shita.

"Baiklah, saya pergi dulu." Ayu Shita berdiri. "Diajeng jaga diri selama saya tidak ada, ya. Jangan begadang dan melamun lagi," ujarnya memberikan pesan.

Dyah Nimas mengangguk tersenyum.

"Berhati-hatilah," ucap Dyah Iswara, tak kalah perhatian.

"Terima kasih, Dewi." Setelah mengatakan itu, Ayu Shita meninggalkan kamar Dyah Nimas untuk mempersiapkan segala keperluannya.

"Diajeng sudah melakukan tindakan yang tepat." Dyah Iswara tersenyum bangga mengusap kepala adiknya.

Dipuji seperti itu membuat Dyah Nimas tertawa. "Dia sudah pergi. Ceritakan lagi soal yang tadi."

***

Panca, Ayu Shita, dan yang lainnya akan siap berangkat ke Adipura. Panca dan kelima prajurit lainnya akan mengendarai kereta kuda. Sedangkan Ayu Shita menaiki Ashura seorang diri.

Sebelum pergi, Mpu Wira tiba-tiba berpesan kepada Ayu Shita. "Bawalah panahmu. Kamu akan memerlukannya nanti."

Alhasil Ayu Shita harus pergi ke gudang senjata mengambil panahnya yang tadi pagi ia gunakan untuk berburu bersama Maharaja.

Kekasih Sang RatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang