Chapter 31: Kedamaian Semu

2.2K 259 22
                                    

Usai berbincang cukup lama, Mahisa Aryan keluar dari kedai diikuti Ayu Shita setelah membayar semua makanan. “Tidak terasa sebentar lagi hari raya Waisak,” kata Mahisa Aryan berkacak pinggang. “Waktu berlalu cepat sekali.”

Oh, benarkah?

Mungkin iya.

Ayu Shita baru menyadari bahwa hari raya umat Buddha akan berlangsung pekan depan. Senyumnya merekah. Hari raya selalu menjadi hari yang istimewa untuknya. Dimana orang-orang akan berdoa bersama lalu dilanjutkan oleh perayaan besar-besaran.

“Setelah ini kamu mau ke mana?” tanya Mahisa Aryan melihatnya.

“Entahlah, Guru.” Ayu Shita senang Maharaja memberikan ia waktu untuk beristirahat. Tetapi justru itu membuatnya bingung harus melakukan apa untuk mengisi waktu luangnya.

Tangan kiri Mahisa Aryan menepuk pundak Ayu Shita yang kokoh. “Mendekati hari raya begini, Mpu Wira menjadi lebih sibuk. Coba kamu bantu beliau jika senggang. Aku ingin melanjutkan pekerjaanku lagi.”

Setelah mengatakan itu Mahisa Aryan pamit dan pergi ke arah istana. Akhirnya Ayu Shita memilih menemui Mpu Wira. Sebagai Biksu utama kerajaan, menjelang hari raya Waisak, beliau suka menetap di candi untuk berdoa agar tempat itu dalam keadaan suci saat digunakan.

Saat kakinya menginjak area Candi Pungkasena, dirinya melihat Mpu Wira duduk bersila di atas rumput dengan dupa yang mengepul di depannya. Tengah tersenyum kepadaku.

Dari kejauhan Ayu Shita balas tersenyum, menundukkan kepala singkat saat berada lebih dekat lalu mengatupkan kedua tangannya di depan hidung sebagai bentuk kehormatan.

“Boleh saya duduk di sebelah Mpu?” tanya Ayu Shita berdiri satu meter di hadapan Mpu Wira.

Mpu Wira mempersilakan dengan hangat sambil tersenyum. “Duduk saja jangan sungkan.”

“Terimakasih.”

Ayu Shita duduk bersila seperti laki-laki dengan punggung tegak di sisi kiri Mpu Wira. Matanya memperhatikan para pekerja yang sedang membersihkan candi dari lumut atau memperbaiki kerusakan jika ada.

Candi Pungkasena berada di tengah-tengah hamparan rerumputan yang begitu luas. Didirikan oleh raja pertama Kertasena, yakni ayah dari Gandawarman.

Terdiri dari dua kata, yaitu pungkasan yang berarti akhir dan Kertasena atau Kertōsenō.

Kemegahan Candi Pungkasena menjadi bukti bahwa Sang Raja menaruh seluruh jiwanya untuk mendirikan Kertasena sebagai tujuan terakhirnya.

Dari tempatnya duduk, Ayu Shita bisa melihat patung Kinnari yang berada di relung kanan. Kinnara dan Kinnari adalah makhluk surgawi dalam kepercayaan agama Hindu dan Buddha.

Memiliki wujud setengah manusia dan setengah burung, Kinnara (laki-laki) dan Kinnari (perempuan) sangat pandai bersyair, memainkan alat musik seperti kecapi, dan menari.

Kinnari digambarkan sebagai sosok wanita cantik dari kepala sampai pinggang, tetapi bagian bawah tubuhnya berwujud angsa. Sedangkan Kinnara digambarkan sebagai sosok kesatria berkalung emas.

Jika Kinnari berada di relung kanan, maka Kinnara berada di relung kiri. Lalu siapa yang berada di relung belakang? Adalah Siwa, Dewa Penghancur.

Baik Hindu dan Buddha, kedua agama tersebut saling melengkapi selayaknya kakak-beradik. Keberadaan patung Dewa Siwa menjadi bentuk toleransi, sekaligus menjadi awal mula terciptanya kepercayaan Buddha-Siwa.

Dan di dalam relung utama, yakni di dalam candi, terdapat patung Buddha Siddhartha Gautama sebagai guru yang mengajarkan dhamma sebagai kebenaran mutlak kepada umat manusia.

Kekasih Sang RatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang