Chapter 08: Penari

2.6K 355 12
                                    

Kembali ke masa sekarang

“Tak terasa sudah lima belas tahun kamu bersamaku,” kata Dyah Nimas sambil memainkan jemari kekasihnya.

Ia duduk nyaman di pangkuan Ayu Shita. Wanita itu sendiri bersandar pada pohon. Senyumnya terus merekah setiap kali menceritakan kisah masa lalu mereka berdua. Dimulai dengan pertemuan yang tidak menyenangkan, sampai menjadi sebuah hubungan terlarang dipenuhi oleh cinta dan hati yang berdebar.

“Itu sudah lama sekali.”

Dyah Nimas menganggukkan kepalanya. Masih memainkan tangan kekasihnya. Mengusap punggung tangan itu lembut. Senyum manisnya terukir seiring wajahnya mulai merona. Teringat kembali saat dia mengobati luka-lukanya.

“Sebaiknya kita tidak terlalu lama berada di sini. Hari ini adalah hari perayaan. Akan ada banyak sekali orang yang datang ke istana,” ujar Ayu Shita mengingatkan.

“Benar. Ayo, kita pulang.” Sebelum berdiri, Dyah Nimas mengecup pipi Ayu Shita.

Tak sempat membalas, Ayu Shita hanya tersenyum malu. Ia ikut berdiri, membantu Dyah Nimas menaiki kuda dengan memegang pinggulnya kemudian mengangkatnya.

“Kita pulang lewat rumah penduduk, ada sesuatu yang ingin saya beli. Dek Ayu duduk di atas kuda saja,” kata Ayu Shita.

Kemudian menuntun kudanya berjalan. Tangan kanannya yang semula memegang tali di leher Ashura, berganti memegang tangan Dyah Nimas karena wanita itu mengajaknya bergandengan tangan.

Banyak sekali orang yang berjualan di pinggir jalan. Kertasena merupakan kerajaan yang makmur. Masyarakatnya sejahtera. Setiap harinya mereka melakukan transaksi ekspor impor ke kerajaan lain.

Meskipun demikian, kemakmurannya masih kurang dibanding kerajaan tersohor lainnya. Yakni kerajaan Prajalingga, yang dipimpin oleh Maharaja Rakai Prasatyawijaya.

Daerah kekuasaan kerajaan tersebut pun tersebar luas lantaran sudah berdiri selama seratus tahun lebih.

Pandangan mata penduduk tak lepas dari paras ayu Dyah Nimas. Sebagai ratu masa depan dari Kertasena, Dyah Nimas terus tersenyum. Harus bersikap ramah.

Ayu Shita berhenti di depan penjual susu. “Tolong berikan dua gelas susu." Kemudian menoleh ke arah Dyah Nimas. “Diajeng mau 'kan?” tanyanya yang dibalas anggukan.

Anak-anak kecil di sana berlarian, sambil sesekali menatap ke arah mereka.

Mereka berdua mutuskan menghabiskan susunya terlebih dahulu, Ayu Shita lalu membayarnya dengan satu keping koin perak. Sesaat setelah kembali berjalan, Dyah Nimas berujar.

“Kamu bilang ingin beli sesuatu.”

“Sudah.”

Jawaban itu menimbulkan kerutan di dahinya. “Hanya segelas susu?” tanyanya tidak percaya.

“Dua gelas.”

“Padahal di istana kamu bisa minum sepuasnya.”

Ayu Shita tertawa.

Niatnya memang membantu melariskan dagangan. Kebetulan saja ia sedang haus.

Sehabis mengembalikan Ashura ke kandangnya, mereka menaiki tangga bebatuan hendak kembali ke istana. Dan ternyata sejak tadi Dyah Iswara menunggunya. Kening wanita itu berkerut, sembari bertolak pinggang menatap adiknya.

“Kamu dari mana saja! Mbak nyariin kamu dari tadi!” serunya kesal.

Dyah Nimas meringis tak enak hati.

“Mohon maaf Dewi, saya tadi mengajak Diajeng pergi ke Telaga Wilis.” Ayu Shita menyahut, meminta maaf, menunduk sopan.

Dyah Iswara menatap mereka berdua sebelum akhirnya menghela napas. “Baiklah.” Kemudian tersenyum manis. Kemarahannya seolah sirna begitu saja.

“Para penari sudah tiba. Ayo kita lihat mereka!” Dyah Iswara dengan penuh semangat menggandeng lengan adiknya, menyeretnya ke tempat dimana para penari yang akan menghibur mereka nanti malam berada.

Ayu Shita mengekor dari belakang. Menyibak tirai pintu, mereka masuk ke dalam salah satu bangunan. Di dalamnya, penari-penari tersebut sedang mempersiapkan segalanya. Mulai dari baju, perhiasan, tata rias dan lain sebagainya.

Tidak ada yang aneh. Mereka semua terlihat hebat.

Sampai suara Dyah Nimas membuatnya menarik ujung bibirnya.

“Mereka semua laki-laki.”

Dyah Iswara menoleh ke arahnya. “Lalu kenapa?”

Dengan ragu Dyah Nimas menjawab. “Eum... mereka terlihat seperti perempuan.”

“Perempuan di belakangmu saja terlihat seperti laki-laki.” Kalimat kakaknya berhasil menusuk hatinya.

Dyah Nimas menelan ludahnya sukar.

“Kamu harus ingat, Buddha membenci semua kejahatan. Kamu tidak boleh berkata tidak sopan seperti itu,” tutur Dyah Iswara lembut.

“Maaf, Mbak Ayu.” Kepala Dyah Nimas tertunduk.

“Lagipula ini adalah seni, Diajeng. Tidak ada batasan dalam kesenian. Siapapun boleh menari.” Dyah Iswara menambahkan.

“Apa yang menari malam ini hanya laki-laki saja, Dewi?” Ayu Shita menyahut, ikut masuk ke dalam pembicaraan.

“Ada yang perempuan. Mereka semua di bangunan sebelah.”

Ayu Shita berniat pergi melihat, tapi tiba-tiba pergelangan tangannya dicengkeram kuat oleh Dyah Nimas. “Siapa yang mengizinkanmu pergi ke sana?” ujarnya diiringi tatapan mata yang menusuk.

“Biarkan saja.” Dyah Iswara melepas paksa cengkeraman tangannya. “Sana pergilah, biar Diajeng di sini bersamaku.”

“Terima kasih.” Ayu Shita menahan senyumnya melihat ekspresi kesal Dyah Nimas.

Ia pun keluar menuju bangunan yang dimaksud. Begitu menyibak tirai pintu, Ayu Shita langsung disambut oleh tatapan mata dari para penari di sana.

“Lanjutkan saja pekerjaan kalian. Saya hanya ingin melihat,” ucapnya tersenyum.

Sesaat kemudian mereka kembali berkutat dengan pekerjaannya. Mata Ayu Shita bergerak liar menelisik setiap perempuan di depannya. Mereka semua cantik, berkulit coklat serta memiliki tubuh yang ramping.

Tapi ada satu wanita yang begitu menarik perhatiannya. Begitu mencolok daripada yang lain. Dan begitu memikat mata.

Bibirnya tertarik membentuk senyuman.

Pendek dan mungil. Postur tubuhnya terlihat kecil. Pasti wanita itu lebih pendek dari Dyah Nimas yang hanya setinggi dadanya.

Terdengar suara langkah kaki tergesa-gesa, disusul oleh suara gesekkan kain. Ayu Shita menoleh ke belakang bersitatap dengan Dyah Nimas yang tiba-tiba datang dengan penuh amarah.

Pas sekali.

Baru saja ia membatin.

Kedatangan wanita itu membuat semua orang terdiam. Dan mereka semakin dibuat bertanya-tanya ketika melihat Ayu Shita diseret keluar.

“Aku sama sekali tidak suka dengan kelakuanmu!” teriak Dyah Nimas langsung di depan wajahnya.

Bukannya gentar, Ayu Shita justru menunduk mengikis jarak di antara mereka. “Dek Ayu cemburu?” bisiknya menyebalkan, terkesan meremehkan.

Ugh!

Kurang ajar.

Melenguh kesal. Tanpa pikir panjang Dyah Nimas melayangkan tamparan di pipi kirinya.

PLAK!!!

Suaranya nyaring.

Bertepatan dengan Dyah Iswara yang keluar setelah mendengar teriakan adiknya, menganga melihat kejadian tersebut.

“Itu hukuman untukmu,” desis Dyah Nimas tajam.

Setelah mengatakannya, Dyah Nimas melengos dan pergi dalam keadaan sangat marah.

Kekasih Sang RatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang