Chapter 17: Senjata Kertasena

2.1K 310 14
                                    

"Aku tadi bertengkar dengan Ibu." Dyah Nimas mengadu. Perasaannya sekarang sudah lebih stabil. Rasa kesalnya kepada orangtuanya lambat-laun berubah menjadi rasa bersalah.

Ia menyesal telah berteriak kepada ibunya.

"Iya, nanti minta maaf sama Ibu, ya?" Ayu Shita tersenyum menenangkan.

Rumi beserta kedua abdi kinasih keluar setelah membersihkan muntahannya Dyah Nimas. Tepat sekali mereka berpapasan dengan Gandawarman, Adiratna dan Dyah Iswara. Mereka sedikit membungkuk sembari menundukkan kepalanya memberi salam.

Adiratna berjalan tergesa-gesa dirundung kekhawatiran terhadap anak bungsunya. Begitu sampai di pintu masuk kamar putrinya, ia memanggilnya cemas.

"Nimas!"

Ayu Shita segera beranjak, memberi ruang kepada Adiratna untuk duduk dan mengusap kening Dyah Nimas.

"Kamu tidak apa-apa?" Adiratna bertanya khawatir.

Dyah Nimas hanya mengangguk kecil sebagai jawaban.

"Ya, Gusti... kenapa kamu bisa seperti ini?" Adiratna sungguh tak habis pikir. Jadi selama ini anaknya dipengaruhi oleh entitas lain? Kalau bukan Dyah Iswara yang memberitahukannya, dirinya pasti masih akan terheran-heran akan sikap putrinya tersebut.

"Maaf, Ibu."

Diam-diam Ayu Shita bergerak mundur, hendak meninggalkan kamar Dyah Nimas. Namun Dyah Iswara memanggilnya, membuatnya berhenti.

"Kamu mau ke mana?"

"Saya mau pulang. Diajeng sudah baik-baik saja." Ayu Shita menjawab, tersenyum. Kemudian kembali berjalan.

Dyah Iswara menatap kepergiannya dari belakang dalam diam. Gandawarman yang melihat putrinya itu lantas mendekat. Menyentuh pundaknya.

"Ada apa, Iswara?" tanyanya.

"Entahlah, Rama." Dyah Iswara masih memperhatikan punggung Ayu Shita. "Ada... sesuatu dari diri Shita yang begitu membuatku tertarik. Seperti ada sebuah magnet. Yang membuatku terus ingin memperhatikannya. Dan aku juga baru tahu kalau dia pandai dalam hal spiritualitas."

Dyah Iswara mengakhiri ucapannya dengan menatap sang ayah. Akhirnya setelah sekian lama, ia menceritakan keanehan yang dialaminya kepada orang lain.

Gandawarman mengulas senyum. Berjalan menyandar pada tembok seraya melipat kedua tangannya di dada. "Kamu ingin tahu jawabannya? Karena bukan hanya kamu yang mengalaminya."

"Memangnya kenapa, Rama?" Dyah Iswara mendekati ayahnya, ikut menyandarkan tubuhnya pada tembok.

Sebelum mulai mengatakannya, Gandawarman menarik napas panjang kemudian menghembuskannya dengan perlahan.

"Ada sebuah cerita melegenda yang sangat terkenal dikalangan kesatria. Dulu sekali, ratusan tahun yang lalu, seorang pendekar menggegerkan seluruh kerajaan di Nusantara."

Gandawarman mulai bercerita. Dyah Iswara mendengarkan dengan seksama.

"Kesaktian lelaki itu berhasil membuat para Raja gentar. Tubuhnya keras bagaikan baja. Tebal seperti sisik naga. Banyak sekali kerajaan berlomba-lomba mencoba menaklukannya. Namun laki-laki itu menolak. Dengan alasan, dirinya tidak ingin terikat oleh siapapun.

Ditemani oleh hewan peliharaannya, seekor elang di pundak kirinya, dirinya melalang buana membantu siapapun yang kesulitan. Siapapun, tak pandang bulu baik itu manusia, hewan, dan jin sekalipun."

"Bagaimana bisa? Bukankah hubungan manusia dengan bangsa jin itu saling bertentangan?" Kening Dyah Iswara berkerut tidak mengerti. "Mereka hanya bisa mencelakai seperti yang dialami Diajeng sekarang."

"Tidak semua jin itu jahat, Iswara. Tetapi memang benar, bahwa energi mereka dapat mencelakai kita." Gandawarman tersenyum. "Dan itulah hebatnya orang yang sedang Rama ceritakan sekarang. Terkenal akan kesaktian dan kemuliaannya, laki-laki itu dipanggil dengan nama Sri Ganendra."

Entah kenapa Dyah Iswara menelan ludahnya begitu mendengar nama itu. Tiba-tiba terbersit dalam benaknya bahwa pendekar bernama Sri Ganendra pasti orang yang sangat hebat. Mengingat tidak semua orang dapat memiliki gelar Sri seperti ayahnya.

Dan jika menelaah dari cerita ayahnya, orang itu seorang pendekar, melalang buana, ditaklukkan oleh banyak kerajaan, itu berarti Sri Ganendra bukanlah dari kalangan keluarga bangsawan.

"Konon katanya, Sri Ganendra itu buta."

"Itu artinya kehebatannya tidak seperti yang Rama ceritakan?"

"Kata siapa?" Gandawarman terkekeh melihat kebingungan di wajah Dyah Iswara. "Meski kedua matanya buta, namun Sri Ganendra masih dapat melihat."

"Caranya?" Dyah Iswara tetap merasa itu tidak mungkin. Bahkan saat mata tertutup, dunia seakan menghitam.

"Karena ia memiliki cakra ajna."

Cakra ajna merupakan istilah lain dari mata ketiga. Letaknya berada di tengah-tengah alis. Orang-orang biasa memanggilnya dengan indra keenam.

"Saat seseorang berhasil mengaktifkan cakra ajna, orang itu akan tetap bisa melihat meski kedua matanya dicongkel sekalipun." Gandawarman melanjutkan ucapannya lagi.

"Dan konon katanya lagi, Sri Ganendra memiliki Mustika Wijaya Kusuma dalam dirinya. Itu juga yang menopang seluruh kesaktiannya."

"Aku tidak mengerti kenapa Rama menceritakan ini padaku. Kupikir kita akan bercerita tentang Shita. Lalu apa hubungan Sri Ganendra dengannya?"

Kali ini Gandawarman menatapnya. Tersenyum penuh rasa bangga. Anaknya harus mengetahui sebuah fakta luar biasa yang membuatnya tercengang. "Jika Sri Ganendra memiliki Mustika Wijaya Kusuma, maka Ayu Shita memiliki Mustika Kencana Sari."

Dyah Iswara masih tetap tidak mengerti, tapi itu berhasil membuatnya terkejut. Sepertinya pengawal adiknya memiliki sesuatu yang luar biasa. "Lantas, lebih hebat mana antara mereka berdua, Rama?"

"Tergantung empunya. Tetapi, Mustika Ayu Shita jauh lebih luar biasa dibandingkan Mustika Sri Ganendra. Karenanya, siapapun pemilik Mustika Kencana Sari, dilindungi langsung oleh Sri Gusti Kanjeng Ratu Ayu Kencana Sari."

Sekarang Dyah Iswara benar-benar dibuat terperangah.

Sri Gusti Kanjeng Ratu Ayu Kencana Sari ialah ratu dari segala ratu. Sesosok roh suci yang begitu mulia nan baik hati, yang turun dari langit atas untuk membantu manusia di alam bumi. Sangat disegani oleh bangsa manusia dan bangsa jin. Memiliki kerajaan tak kasat mata di laut selatan. Dengan ribuan prajurit ghaib yang menjaganya.

"Untuk itulah, Iswara," Dyah Iswara kembali memusatkan perhatiannya pada sang ayah. "...kita harus memanfaatkan Shita. Tugas Rama ialah melatihnya agar dia menjadi kesatria yang hebat. Dan tugasmu adalah membujuk adikmu."

Jeda sejenak. Gandawarman kemudian melanjutkan ucapannya. "Ayu Shita akan menjadi senjata terhebat yang kita miliki. Dan karenanya, kekuasaan Kertasena akan semakin besar."

Kekasih Sang RatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang