Chapter 39: Yang Pertama, Aditya

1.8K 299 47
                                    

Waktu yang dinantikan akhirnya tiba; perebutan kekuasaan. Ayu Shita menaiki kuda dengan mantap bersiap untuk berperang melawan seluruh antek-antek Satria. Jantungnya bergemuruh, bernafsu untuk segera mengakhiri semuanya. Dia ingin kerajaannya kembali ke tangan raja yang tepat. Namun sebelum pergi, Gandawarman memanggilnya.

“Setelah tugasmu selesai, langsung pergi selamatkan Iswara dan istriku, serahkan saja Satria padaku.”

Ayu Shita mengangguk, menjawab singkat. “Baik.” Kemudian memacu kudanya dengan cepat, diikuti Panca dan Taka tak jauh di belakang.

Di tengah mendung dan angin kencang, salah seorang prajurit Satria yang berjaga di depan gerbang utama berteriak melihat siluet Ayu Shita dari kejauhan, berdiri menunggangi kudanya sendirian. “Dia datang! Katakan kepada Pangeran kalau musuh telah kembali!”

Satu prajurit pergi menunggang kuda menuju istana utama, di mana Satria sedang duduk di singgasana dengan angkuhnya bersama Mahisa Aditya di dekatnya.

“Aku bukan pengecut seperti kalian,” gumam Ayu Shita geram, mengeluarkan bungkusan kain berisi serbuk merah dari balik selendangnya. “Mas Panca!” Dia melemparkannya jauh ke atas dan Panca dengan sigap memanahnya membuat serbuk merah di dalamnya beterbangan. Itu adalah sinyal untuk memulai perlawanan. Dia bukan pengecut sehingga harus menyerang secara diam-diam.

Mahisa Aditya berdiri setelah mendengar penjelasan dari prajurit di depannya. “Saya yang akan melawan Shita,” ucapnya tegas diselimuti amarah dan tanpa pikir panjang. Dendamnya tersulut setelah mengetahui bahwa Ayu Shita berhasil membawa Dyah Nimas kabur. Dan sekarang dia sudah tidak memiliki kesempatan lagi untuk mendapatkan gadis itu.

Satria ikut berdiri, meliriknya dengan tajam. “Jangan sampai mati. Aku ingin dia tetap hidup.”

Mahisa Aditya hanya mengangguk acuh dan berjalan pergi. Perintah yang sangat konyol. Salah satu alasannya bersengkokol dengan Satria mengkudeta kerajaannya adalah untuk melenyapkan Ayu Shita. Jadi tentu saja dia akan membunuhnya.

Perlawanan pun dimulai. Ayu Shita, Panca dan Taka memacu kudanya dengan cepat di depan barisan dua ratus prajurit. “Bersiaplah untuk mengirimkan sinyal kepada Maharaja!” perintah Ayu Shita kepada mereka berdua.

Tiba-tiba dia turun dari kudanya dan berlari sekuat tenaga menantang puluhan prajurit Satria seorang diri membuat Panca dan Taka terkejut.

“Apa yang dia lakukan! Ini bukan dari rencana kita!” teriak Taka panik melihat Ayu Shita akan senekat itu menerobos pertahanan musuh tanpa kuda.

“Fokus saja pada tugasmu!” Panca juga tak habis pikir. Tapi sebagai orang yang pernah menjalankan misi bersama, dia tahu bahwa dia tidak boleh meremehkan Mahapatih mereka.

Bertubi-tubi panah meluncur cepat ke arah Ayu Shita, namun wanita itu dengan sigap mengeluarkan kedua pedangnya, menangkis dengan sempurna dan balas menyerang dengan membabi buta. Dia melompat menyayat tangan, kaki dan perut tanpa mengenai titik fatal mereka. Karena sejujurnya, dari awal menjadi prajurit... dia sama sekali belum membunuh seseorang.

Jikapun musuh mereka mati itu bukan karena dirinya, maka dari itu Mahisa Aditya sering menyebutnya naif dan sok suci. “Jika tidak ingin membunuh maka jangan menjadi kesatria! Ceramah saja di kuil!” Teriakannya mendadak menggema di kepalanya. Gerakan pedang Ayu Shita semakin ganas membuat wajahnya kotor terkena cipratan darah.

“Luar biasa.” Taka terkagum-kagum.

“Lemparkan bungkusannya sekarang! Ini sudah waktu yang tepat untuk memberitahu Maharaja!” kata Panca menahan rasa merinding melihat musuh mereka terkapar bersimbah darah merintih kesakitan.

Taka melempar bungkusan seperti milik Ayu Shita ke atas dan Panca kembali memanahnya, tapi kali ini warna yang keluar adalah warna hijau, simbol perdamaian. Gandawarman menerima sinyal tersebut dan mulai memacu kudanya karena situasi sudah aman untuk maju. Artinya Mahapatih-nya berhasil membuat jalan untuk mereka.

Kekasih Sang RatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang