Chapter 32: Seribu Prajurit

2.1K 283 24
                                    

Sudah menjadi tradisi bahwa hari raya Waisak juga diperingati sebagai hari kesederhanaan. Bagaimana tidak, Sang Raja Kertasena itu tidak memperbolehkan siapapun, baik rakyat biasa ataupun anggota kerajaan untuk memakai perhiasan. Bahkan mengenakan selendang mewah pun dilarang.

Mengapa?

Hal itu bertujuan untuk menghormati Siddhartha Gautama, yang semasa hidupnya meninggalkan takhta kerajaan untuk hidup dalam kesederhanaan. Alhasil setiap Waisak, Gandawarman meminta seluruh masyarakat untuk melepaskan segala kemewahannya.

Dan ada satu tradisi lagi, yang tidak kalah penting. Yakni menghanyutkan sesajen berupa bunga dan buah-buahan yang dibungkus janur ke sungai sebagai simbol Dari Alam Untuk Alam.

Pagi ini udara berembun dan terasa lebih dingin. Ayu Shita mengambil sesajen miliknya di rumah, yang dibuatkan oleh ayahnya. Memilih tak langsung pergi ke sungai, ia justru berjalan kembali ke istana untuk menemui kedua putri mahkota kesayangan Maharaja.

Mau tidak mau, ia harus bertemu dengan Dyah Nimas. Yang beberapa hari ini telah ia hindari keberadaannya. Bukan tanpa sebab, Ayu Shita pusing terus mendengar desakan perempuan itu yang mengajaknya menikah siri.

Dyah Iswara beserta adiknya sudah menunggu di gazebo belakang istana. Senyum simpul Ayu Shita tersungging melihat perempuan di depan sana memasang wajah masam.

Jika mengenakan pakaian biasa, tanpa selendang mewah dan perhiasan mahal, kakak-beradik tersebut terlihat seperti perempuan pada umumnya. Setidaknya Ayu Shita tidak merasakan adanya perbedaan kasta untuk sesaat.

“Maaf sudah membuat kalian menunggu.” Ayu Shita berujar setelah berada cukup dekat dengan mereka.

“Tidak apa-apa,” jawab Dyah Iswara tersenyum. Tidak mempermasalahkan hal itu. “Tapi sepertinya Diajeng tidak menyukainya.”

Dyah Iswara melirik geli Dyah Nimas, yang enggan melihat lawan bicaranya. Dalam hati menduga, ada masalah apa sampai adiknya tidak sudi menatap kekasihnya sendiri.

Sejak Dyah Nimas mengungkapkan rahasia terbesarnya, Dyah Iswara tak dapat membendung rasa penasarannya. Namun sayang, saat ia mengulik lebih lanjut tentang hubungan mereka, adiknya memilih bisu.

Meski dirinya sudah berjanji akan menyimpan rahasia itu dalam-dalam, tetapi tetap saja tak menggoyahkan kebisuan Dyah Nimas.

“Sudahlah, lebih baik kita ke sungai sekarang sebelum terlambat.” Dyah Nimas bangkit berdiri, berjalan acuh mendahului dua perempuan yang tersenyum geli melihat tingkahnya.

Setelah ini mereka harus berkumpul di Candi untuk membaca Paritta bersama Mpu Wira dan yang lainnya.

Di belakangnya, Dyah Iswara berusaha menggali informasi kepada Ayu Shita sambil berjalan menuju sungai. “Katakan, apa kalian bertengkar?”

“Tidak.” Ayu Shita menjawab santai. “Tapi sepertinya Diajeng ingin bertengkar dengan saya,” lanjutnya dengan sedikit gurauan.

Lihatlah, bahkan Ayu Shita juga tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Padahal Dyah Iswara yakin jika ada apa-apa dengan mereka berdua. Tidak mungkin adiknya marah tanpa alasan. Mengingat beberapa hari terakhir Dyah Nimas menjadi lebih senewen.

Sesampainya di sungai yang dimaksud, mereka bertemu dengan Mahisa Aryan dan anaknya. Mahisa Aditya yang berdiri di sebelab ayahnya, tersenyum ke arah Dyah Nimas. Yang dibalas dengan senyuman kecil.

“Selamat pagi,” sapa Mahisa Aditya, dengan tatapan mata tetap tertuju kepada pujaan hatinya.

Dyah Nimas membalas dengan intonasi yang sama.

Mahisa Aryan berjongkok, menghanyutkan sesajennya. Kemudian kedua tangannya terkatup di depan hidung seraya memejamkan mata.

Tanpa sepengetahuan gurunya, Ayu Shita berjongkok di sampingnya. Juga menghanyutkan sesajennya lalu berdoa. Mahisa Aryan membuka mata setelah berdoa dan langsung tersenyum tipis melihat murid kesayangannya.

Kekasih Sang RatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang