Chapter 03: Keintiman

4.9K 458 7
                                    

Upacara pemakaman diadakan untuk menghormati setiap prajurit yang telah binasa di medan perang. Para bangsawan, kesatria dan ahli agama baik Biksu maupun Biksuni, hadir mengiringi doa. Melewati Purawaktra, mereka menaiki tangga bebatuan menuju atas candi sakral yang berada di pinggir istana.

Diletakkannya sesajen seperti dupa dan bunga di dalam candi bercorak Buddha tersebut, dekat patung Siddharta Gautama. Guna sebagai sarana spritual.

Malam semakin dingin. Angin cukup kencang menggetarkan kulit. Api dalam obor serta wewangian dupa bergerak tertiup angin menjadi pelengkap persembahyangan.

Dyah Nimas duduk di samping kakaknya. Terdapat lilin kecil di hadapan mereka berdua sebagai penerangan.

Tak jauh di hadapannya, Ayu Shita duduk di sebelah Mahisa Aditya, yang bersila di samping ayahnya. Entah kenapa wanita itu menggerakkan mulutnya berulangkali. Semakin bingung ketika Ayu Shita menyentuh pipi kirinya kemudian membuka tutup mulutnya.

Kenapa dia? pikir Dyah Nimas heran.

Suara Mpu Wira terdengar. Menjadi pertanda bahwa persembahyangan telah dimulai. Seluruh orang yang berada di tempat itu bersikap anjali; bersila, menutup mata dan mengatupkan tangannya di bawah dagu. Sebagai Mahamantri dan seorang Biksu, Mpu Wira secara khusus memimpin setiap acara keagamaan.

Tidak ada prosesi pemakaman. Karenanya setelah para prajurit wafat di medan perang, raga mereka langsung dikremasi hari itu juga oleh prajurit lainnya.

Sebab setelah meninggal, tubuh akan mengalami pembusukan. Sedangkan membutuhkan waktu berhari-hari untuk kembali ke Kertasena.

Untuk membalas jasa mereka, kepada istri dan anak yang ditinggalkan, hidupnya akan ditanggung oleh kerajaan.

Usai bersembahyang dan membaca Paritta, orang-orang hendak pulang ke rumah masing-masing untuk beristirahat. Gandawarman beserta istri dan anaknya bersiap kembali ke istana. Terkecuali para Biksu dan Biksuni, mereka berdoa lebih lama sampai ayam berkokok.

Ayu Shita mendekat sambil membawa piring kecil berisikan lilin yang menyala. Dyah Nimas langsung tersenyum manis, menggandeng lengannya. Bersama-sama, mereka mulai meninggalkan candi.

"Sebuah keberuntungan dapat melihatmu lagi, Shita." Gandawarman membuka suara. Baru sekarang bisa menyapa pengawal pribadi putrinya.

Ayu Shita menunduk sopan. "Dewa masih melindungi saya, Prabu."

"Hidupmu pasti selalu dikelilingi oleh keajaiban."

Ayu Shita hanya tersenyum menanggapinya.

"Tadi kamu kenapa? Kenapa menggerakkan mulut terus-menerus," tanya Dyah Nimas melihat ke arahnya.

Kening Ayu Shita mengerut sejenak. Mencerna pertanyaan yang dilontarkan. "Oh, rahang saya bergeser," jawabnya santai.

"Apa!?" Dyah Iswara berseru kaget. Ikut terkejut seperti adiknya.

Gandawarman tertawa. "Itu hal biasa yang dialami seorang prajurit. Rama dulu juga pernah. Malah sampai tulang rusuknya patah."

Adiratna tersenyum, teringat masa-masa dimana suaminya begitu aktif berperang bersama mertuanya. Sekarang pria itu lebih sering menghabiskan waktu di istana. Jika saja kedua anaknya adalah laki-laki, pasti mereka juga turut berperang seperti ayahnya dulu. Tapi ternyata Dewa berkehendak lain, ia dianugerahkan anak-anak yang manis nan jelita.

Beberapa tahun lalu, dirinya pernah meminta suaminya menikah lagi agar mendapatkan seorang putra. Namun nahas, lelaki itu sungguh berhati lapang. Permintaannya ditolak mentah-mentah. Sekedar memiliki selir pun pria itu menolak.

Kekasih Sang RatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang