Chapter 04: Sendang

4.1K 403 7
                                    

Pagi ini di dapur kerajaan terlihat ramai sekali dikarenakan para abdi dalem sedang memasak untuk syukuran nanti. Sebagai raja, Gandawarman juga sibuk memberi sedekah kepada ahli agama dan rakyat miskin sebagai ungkapan rasa syukur atas kemenangan yang diterima. Ditemani oleh sang istri, ia berdiri di depan pintu istana. Menyerahkan karung berisi beras, buah-buahan dan kepingan emas.

Mahisa Aryan datang menghampirinya. Mereka bercakap-cakap sebentar sebelum Gandawarman memanggil Ayu Shita yang kebetulan berada tak jauh dari pandangannya.

"Shita! Ke marilah sebentar!" teriaknya.

Mau tak mau, Ayu Shita harus mengurungkan niatnya bertemu Dyah Nimas. Ia berjalan cepat mendekati Gandawarman. Menundukkan kepala sopan, ia lalu bertanya. "Iya, Prabu?"

"Tolong kamu urus ini. Saya ada keperluan dengan Aryan," titahnya.

"Baik, Prabu."

Sepeninggal Gandawarman beserta istrinya dan Mahisa Aryan, Ayu Shita termenung sejenak. Ditatap oleh puluhan rakyat yang sedang mengantri. Harusnya ia sekarang menemani kekasihnya. Sebagai salah satu wajah kerajaan, hari ini Dyah Nimas harus berpenampilan rapi dan wangi.

Yah... itu bisa dilakukan nanti.

Sambil tersenyum, Ayu Shita membagikan seserahan di dekatnya satu-persatu.

Lagipula pasti ada Rumi serta abdi kinasih lain yang menemaninya.

Selepas melaksanakan perintah Gandawarman, Ayu Shita melanjutkan perjalanannya menuju Sendang Kembar. Sesuai dugaannya. Di tempat yang rindang dan teduh dikelilingi oleh pohon, Rumi dan yang lainnya tengah memandikan Dyah Nimas.

Sendang Kembar merupakan tempat pemandian yang temboknya terbuat dari batu, dengan ukiran-ukiran indah. Berada di wilayah istana, tempat itu biasa digunakan untuk memandikan Dyah Nimas dan Dyah Iswara. Terdapat sekat di tengahnya, memudahkan kedua wanita itu mandi secara bersamaan tanpa bisa melihat satu sama lain.

Karena itulah, sendang tersebut dinamakan Sendang Kembar.

Berbeda dengan Sendang Lanang dan Sendang Wadon. Kedua sendang tersebut digunakan khusus untuk Gandawarman dan Adiratna. Letaknya pun jauh dari milik anak-anaknya.

Ayu Shita duduk bersimpuh menghadap Dyah Nimas yang memunggunginya. Tanpa menoleh, Dyah Nimas tahu siapa yang datang. Dari aromanya, siapa lagi orang yang berani terang-terangan memperhatikannya ketika sedang mandi kecuali pengawal pribadinya.

Wanita itu tanpa sungkan melihat lekuk tubuhnya.

"Maaf terlambat, tadi ada sedikit perintah dari Maharaja," kata Ayu Shita memberi penjelasan.

Dyah Nimas melirik ke belakang, ke arahnya dengan tatapan tajam. "Jangan jadikan Rama sebagai alasan," balasnya dengan nada tidak suka.

Marah, ya?

"Maaf." Senyum tipis Ayu Shita terukir. Tak merasa bersalah, justru merasa lucu dengan respon wanita di depannya.

Kemudian hening menyelimuti. Rumi sibuk mengusapkan kelopak bunga mawar ke tangan Dyah Nimas, sambil sesekali memberikan pijatan lembut. Satu abdi kinasih yang lain juga melakukan hal yang sama.

Semua orang di tempat itu adalah perempuan. Tetapi ada satu perempuan yang memiliki jiwa laki-laki. Yaitu, Ayu Shita.

Dan hanya Dyah Nimas yang mengetahuinya.

Satu-satunya androgini kebanggaan kerajaan Kertasena. Perpaduan sempurna antara maskulinitas dan feminitas. Menyatu menjadi satu menciptakan sosok yang kuat namun juga lembut.

Dan lagi-lagi hanya Dyah Nimas-lah yang tahu mengenai sisi dalam Ayu Shita.

Seberapa kokohnya tubuh itu. Ia menyentuhnya langsung ketika berada di pelukannya. Seberapa lembutnya dia. Ia merasakannya langsung ketika tangannya digenggam olehnya.

Alis Ayu Shita menyatu heran. Tumben ia tidak diajak bicara sama sekali. Sepertinya benar-benar marah. Bahkan setelah selesai mandi pun, Dyah Nimas tak kunjung membuka suara padanya.

"Bisa tolong tinggalkan kami sebentar?" pintanya kemudian kepada abdi kinasih yang akan membantu Dyah Nimas mengganti pakaian di kamarnya.

Mereka langsung bergegas meninggalkan tempat itu, tak lupa menutup pintu.

"Kenapa malah disuruh pergi?" protes Dyah Nimas tak suka.

Ayu Shita terkekeh, menutup tirai, mendekati meja, menatap tumpukan jarik, selendang dan perhiasan di atas meja rias.

"Karena saya yang akan membantu Dek Ayu mengganti pakaian."

Wajah Dyah Nimas langsung terasa panas. Ia bergeming. Membuat Ayu Shita akhirnya inisiatif menarik pinggangnya supaya mendekat. Matanya menatap wajah wanitanya yang saat ini sedang tersipu malu. Dyah Nimas enggan melihat ke arahnya. Senyum tipis Ayu Shita terukir.

"Kenapa masih malu? Padahal saya sudah sering—"

"Jangan diteruskan!" potong Dyah Nimas cepat, sedikit berseru. Menyuruh diam atau dia akan membuatnya kian malu.

"Baik." Ayu Shita menahan senyum gelinya.

Dengan gerakan perlahan tangannya mulai melepaskan kemben yang membungkus tubuh bagian atas Dyah Nimas. Lalu perlahan jemarinya turun menuju pinggang sembari memberikan sentuhan lembut dan sensual ke permukaan kulit.

Sekuat tenaga Dyah Nimas berusaha agar napasnya tidak terdengar berat. Pandangan mata Ayu Shita sepenuhnya masih menatap wajahnya. Ketika tangannya dengan sekali tarikan melepaskan jarik yang menutupi kaki jenjang kekasihnya.

Tak ingin berlama-lama atau membuat wanita itu kedinginan, ia segera memakaikan jarik bermotif rumit dan memakaikan kemben untuk menutupi dadanya kembali.

Dyah Nimas masih bergeming dan enggan menatap Ayu Shita. Hal itu membuat Ayu Shita memanggilnya dengan sedikit bujukan mesra.

"Dek Ayu ... kenapa terus membuang muka?"

Padahal kemarin bilangnya masih ingin melihatnya sampai menolak untuk tidur.

Tangan kirinya mengangkat dagu Dyah Nimas, memaksanya untuk menatap matanya. Jempolnya mengusap lembut bibirnya. Kemudian dengan gerakan pelan ia mengecupnya. Menempelkan bibirnya ke bibir Dyah Nimas. Ia sadar bahwa semalam kekasihnya itu diam-diam menciumnya.

Dyah Nimas seketika memejamkan matanya. Menahan napas dengan jantung berdebar.

Tak lama ciumannya berpindah ke pipi, lalu beralih ke bawah rahangnya. Dyah Nimas sontak mendongak, semakin memejamkan matanya erat. Kakinya bergerak mundur, mulai kesulitan menopang tubuhnya. Lemas menerima rangsangan yang diberikan, kedua tangannya berpegangan pada meja.

Menyadari respon tersebut, Ayu Shita mendekatkan dirinya, menghimpitnya, menyatukan tubuh mereka lagi.

Tangan kirinya kini menekan tengkuk Dyah Nimas agar ciumannya semakin dalam. Sedangkan tangan yang satunya memeluk pinggangnya.

Dyah Nimas menggigit bibir bawahnya.

"Dek Ayu harum sekali," bisik Ayu Shita mesra disela-sela ciumannya.

Seluruh bulu kuduk Dyah Nimas seketika bergidik.

Ayu Shita menjauhkan wajahnya. Ia menatap Dyah Nimas sedikit membuka mulut dengan wajah memerah sampai ke telinga. Tatapan matanya terlihat sayu memancarkan gejolak yang tertahan.

Wanita itu berhambur ke pelukannya. Menarik napas dalam dan panjang. Ayu Shita merengkuhnya, membiarkannya menenangkan diri di dadanya.

"Jantungmu, berdetak cepat sekali," celetuk Dyah Nimas lirih dan terdengar berat.

Ayu Shita tersenyum. Mengecup kepala Dyah Nimas yang masih sedikit basah dengan sayang. Lalu mengucapkan kalimat yang membuat Dyah Nimas ingin menikahinya saat itu juga.

"Dek Ayu selalu membuat jantung saya berdebar."

Kekasih Sang RatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang