Chapter 20: Kedatangan Ibu

1.9K 300 17
                                    

“Kita bermalam di sini,” titah Panca begitu sampai di depan candi yang dimaksudkan Ayu Shita sebelumnya.

Para prajurit yang berada di kereta kuda memilih tetap tidur di dalam. Ayu Shita duduk di tengah anak tangga, menaruh semua senjata miliknya di dekatnya. Panca menghampiri, menyerahkan selimut untuknya.

“Terima kasih.” Ayu Shita menerimanya.

“Sudah, jangan dipikirkan terus. Kita sudah aman sekarang,” kata Panca santai, mendudukkan dirinya di sebelah Ayu Shita.

“Kita hampir mati loh, Mas.”

Bagaimana pria itu bisa tetap bersikap tenang padahal tadi nyawanya sempat terancam. Nyawa mereka semua. Dan bisa saja setelah ini akan ada serangan berikutnya. Yang mungkin lebih ganas dari semburan Banaspati.

Panca terkekeh.

Perkataan Mpu Wira ternyata benar, keberadaan Ayu Shita bisa menjadi pelindung untuknya. Karena itu ia tidak khawatir mengenai rintangan yang akan mereka temui.

“Tapi tadi kamu hebat sekali.” Panca menirukan gerakan memanah Ayu Shita. “Cukup memakai satu anak panah, kamu berhasil menyelamatkan kami semua.”

Ayu Shita termenung. Tadi itu, benar-benar sebuah kebetulan di luar nalar. “Itu tidak akan terjadi jika Mpu Wira tidak menyuruhku membawa busurku.”

Baru ia sadar perintah Mpu Wira bukanlah titah biasa. Seandainya ia tidak membawa busurnya, entah bagaimana nasibnya sekarang. Jangan-jangan Biksu itu tau bahwa keberangkatan mereka akan dihadang oleh serangan mendadak dari Banaspati.

“Kamu orang yang hebat.” Panca menyunggingkan senyum tulus. “Secara tidak langsung beliau menyuruhmu untuk melindungi kami semua. Aku sangat berterimakasih untuk itu.”

Ayu Shita menatapnya lurus. “Terus Mas tadi kenapa berbohong?”

“Mpu Wira menyuruhku tutup mulut.” Panca berbisik, meletakkan telunjuknya di depan bibir. “Katanya, aku harus tetap diam saat melihat kesaktianmu. Sepertinya beliau sudah memprediksinya. Tadi itu sungguh luar biasa.” Kemudian ia menepuk pundak Ayu Shita.

“Sekarang tidurlah. Kamu pasti lelah. Saat ini keadaan kita sudah aman.” Panca tersenyum sebelum berdiri dan menaiki tangga. “Aku akan tidur di dalam candi,” pamitnya.

Tinggallah Ayu Shita sendirian. Ia tidak bisa sesantai teman-temannya. Memikirkan nyawanya hampir melayang membuatnya bergidik. Bagaimana jika ada serangan susulan? Lalu ia mati dan tidak bertemu lagi dengan kekasihnya?

“Dek Ayu lagi apa?” lirihnya sendu menatap langit.

Ah, belum sehari tapi rasanya sudah rindu.

Tidak menyangka perjalanannya begitu terasa menegangkan.

Menghela napas panjang, Ayu Shita memutuskan untuk menidurkan tubuhnya sembari memakai selimut. Dirinya memang butuh istirahat. Sejak pagi tadi energinya telah terkuras. Banyak sekali kejadian aneh. Mungkin memejamkan mata sejenak tidak apa-apa.

--

Hembusan angin kencang menerpa wajahnya. Disusul oleh suara deburan ombak. Ayu Shita membuka mata, mengernyit heran. Sejak kapan dirinya berdiri di pinggir pantai?

Kakinya melangkah maju, matanya menyapu ke setiap sudut pesisir pantai namun tak menemukan seseorang selain dirinya.

“Mas Panca!” panggilnya lantang. Tak ada jawaban.

“Aditya!” panggilnya sekali lagi. Tak ada jawaban juga. Teman-temannya pun tidak ada di dekatnya.

Ditengah ketakutan dan kecemasannya, terdengar bunyi derap kaki kuda. Diiringi semerbak bau melati. Ayu Shita mematung. Seluruh perhatiannya berpusat pada kereta berkuda putih yang berjalan melayang di atas laut menuju ke arahnya.

Kekasih Sang RatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang