Chapter 34: Sang Permaisuri

1.6K 275 26
                                    

Sejak matahari masih berada di atas kepala, sampai hutan gelap gulita, Dyah Nimas terus menangis tanpa henti. Berulangkali Ayu Shita mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Sambil bercanda dia berucap, “Dua anak panah tidak akan membuat saya mati.”

Ayu Shita mengusap pelan puncak kepala Dyah Nimas di pelukannya dengan sayang. Mereka sudah sangat jauh dari Kertasena, tapi tetap tidak ada waktu untuk beristirahat. Mereka harus terus berkuda menemui Maharaja Rakai Prasatyawijaya untuk meminta bantuan.

Kondisi Ayu Shita sudah cukup lemas karena kehilangan banyak darah dan berpuasa ketika Waisak, dirinya sekarang tidak memiliki banyak tenaga untuk bertahan. Meski begitu dia memaksa tubuhnya yang kesakitan untuk terus bergerak. Ada banyak orang yang menanti bantuannya. Ayah dan ibunya, serta penduduk yang lain. Tidak lucu kalau dia tumbang di tengah jalan.

“Kita harus berhenti.” Suara parau Dyah Nimas menyita perhatiannya.

Ayu Shita menunduk menatap kekasihnya sejenak lalu menggelengkan kepala. “Kita tidak boleh berhenti,” jawabnya lemas. “Para penduduk Kertasena sedang menunggu kita.”

“Tapi kamu terluka.”

Lagi, Ayu Shita menolak. “Saya baik-baik saja.” Seketika itu juga rasa perih di punggungnya membuatnya meringis.

“Shita...” Kini Dyah Nimas memohon sambil memelas. Matanya kembali berkaca-kaca. “Di sini aku cuma punya kamu,” lirihnya ketakutan. “Aku cemas dan takut. Aku mohon kita berhenti sebentar aja. Kamu butuh istirahat.”

“Tidak perlu.” Ayu Shita menggelengkan kepala untuk kesekian kalinya. Tapi kali ini kepalanya tiba-tiba terasa berat dan sakit sampai membuatnya memejamkan mata dan menghentikan laju kudanya.

“Shita, ada apa?” Dyah Nimas menatap cemas.

Ayu Shita berusaha mengeluarkan suaranya namun kondisinya begitu lemas. Dia lapar dan kesakitan. Melihat kekasihnya menangis semakin memperburuk keadaannya. Sekarang perut, punggung, dan hatinya terasa sakit.

Samar-samar telinganya mendengar suara burung hantu di dekatnya seiring pandangannya yang mulai mengabur. Berusaha mempertahankan kesadarannya, tapi sakit di kepalanya semakin menjadi-jadi. Dalam pancaran sinar bulan, dia bisa melihat dengan jelas air mata di manik indah kekasihnya.

Sedih bercampur sakit. Lambat laun kesadarannya semakin menipis dan perlahan tubuhnya kian terasa berat. Sebelum benar-benar tak sadarkan diri, Ayu Shita sempat menggumamkan kata penuh penyesalan.

Maaf.”

Dyah Nimas menjerit histeris melihat tubuh Ayu Shita jatuh ke tanah. Seketika ia turun dan menepuk pipi Ayu Shita yang terasa panas sambil memanggil namanya. Tapi setelah berkali-kali memanggil, kedua mata itu terus terpejam.

Di saat dirinya menangis frustasi lantaran sendirian di dalam hutan dengan kondisi satu-satunya orang yang dia punya tak sadarkan diri, perhatiannya teralihkan oleh kedatangan seseorang dari balik semak-semak.

Kakek-kakek tua.

Lentera yang dipegang oleh kakek itu menjadi satu-satunya penerangan buatan. Terlalu penat untuk memproses apakah orang di depannya benar-benar manusia atau bukan, Dyah Nimas hanya berharap orang itu dapat membantunya.

Namun semakin kakek tersebut berjalan mendekat, kening Dyah Nimas berkerut melihat keganjilan yang ada padanya. Dia berjalan menapak tanah, berarti manusia. Tetapi anehnya, manusia itu berjalan dengan mata terpejam. Kulitnya begitu pucat, rambutnya putih panjang sepinggang, berjalan dengan mata tertutup tanpa terjatuh.

Yang membuat semakin ganjil, tiba-tiba seekor burung hantu bertengger di pundaknya.

“Kamu tidak apa-apa, Nduk?” tanya si kakek misterius dengan suara halus berdiri di depan Dyah Nimas.

Ditanya seperti itu, Dyah Nimas menangis lagi, menggeleng-gelengkan kepalanya dengan lemah.

“Tolong saya,” pinta Dyah Nimas lirih dengan suara serak.

Kakek di hadapannya tersenyum hangat sekali. Terlihat seperti orang baik. “Sudah, tidak apa-apa, jangan takut. Kalian akan baik-baik saja.” Dan setelahnya, kakek tersebut mengulurkan tangan kirinya untuk menyentuh kening Dyah Nimas, membuat gadis itu seketika pingsan dalam hitungan detik.

Sayup-sayup Ayu Shita mendengar suara deru ombak diikuti oleh suara kerincing kereta kuda. Harum melati yang begitu familiar menusuk hidungnya. Membuka mata dan terduduk, dirinya terbangun di tepi pantai. Di hadapannya, Ibu berdiri dengan anggun sambil mengulas senyum hangat. Sontak Ayu Shita ikut berdiri mensejajarkan dirinya.

“Kenapa saya ada di sini?!” pekiknya kaget bercampur panik. Bagaimana tidak, dia ingat dirinya tak sadarkan diri di depan Dyah Nimas. Lalu sekarang entah bagaimana caranya dia berada di pantai bersama Sang Ibu.

Melihat raut wajah panik anaknya, Ibu justru tertawa kecil membuat Ayu Shita mengernyitkan dahi tak suka.

“Saya harus pergi dari sini! Banyak orang dalam bahaya!” Baru beberapa langkah dirinya berbalik, Ibu memanggil.

“Bagaimana caramu pergi?”

Seketika langkah kaki Ayu Shita terhenti. Kebingungan sambil melihat sekitarnya, di mana dia sekarang? Ini bukan pertama kalinya dia berada di pantai antah berantah bersama Ibu.

“Ke sinilah, Shita. Ibu tahu apa yang terjadi.”

Mendengar suara lembut Ibu, Ayu Shita berbalik berjalan pelan. “Saya benar-benar harus pergi,” ujarnya lemas.

Ibu mengangguk. “Kamu bisa pergi setelah Ibu selesai menyembuhkanmu.”

“Menyembuhkan?” Kening Ayu Shita mengernyit tidak mengerti. Namun tiba-tiba rasa perih dan panas menjalar ke punggungnya sampai membuatnya berteriak seolah mengingatkan dirinya kalau sedang terluka. Dia menoleh ke belakang melihat dua anak panah tertancap di sana.

Ibu mendekat dan memeluknya, mengelus kepalanya selayaknya tindakan seorang ibu kepada anaknya. Ayu Shita mematung untuk sepersekian detik. Tapi seiring berjalannya waktu, keterkejutannya perlahan berubah menjadi kenyamanan. Tangan hangat Ibu bergerak menyentuh punggungnya yang terluka. Entah apa yang dilakukan, pelan-pelan rasa sakitnya mulai memudar.

“Belum waktunya kamu untuk mati,” ujar Ibu lirih. “Ingatlah bahwa kekuatan Ibu selalu mengelilingimu. Jadi... jangan takut menghadapi orang-orang jahat di sekitarmu.”

Ibu melepaskan pelukannya, tersenyum hangat sekali lagi. “Sekarang bangunlah. Selamatkan semua orang yang kamu sayangi.”

Seperti ada yang menarik dirinya, dengan sangat cepat Ayu Shita terpental menjauh dari Ibu dan terbangun terbelalak. Satu hal yang dilihatnya adalah kegelapan. Apa semua itu cuma mimpi? Di mana lagi dia sekarang?

Menengok ke samping kiri, Dyah Nimas nampak tertidur pulas. Ayu Shita terduduk berusaha membangunkannya dengan mengguncangkan tubuhnya dan memanggil-manggil namanya. Namun nihil, gadis itu tetap tertidur tak terganggu dengan suara berisiknya.

Memilih keluar dari gubuk karena takut mereka berada di genggaman musuh, Ayu Shita malah diperlihatkan pemandangan indah yang menenangkan. Di sebelah kanan terdapat air terjun tidak terlalu tinggi, di depannya sebuah sungai kecil mengalir dengan tenang, lalu di depannya terdapat goa kecil yang hanya cukup untuk bermeditasi satu orang saja.

“Kamu bangun cepat sekali.”

Suara laki-laki tersebut membuat Ayu Shita menoleh ke samping kirinya dan langsung mengambil sikap penuh waspada. Lelaki tak dikenal itu duduk bersila dengan kedua mata terpejam. Seekor burung hantu bertengger tenang di pundaknya.

“Tempat ini adalah salah satu pemandian milik Kanjeng Ibu Ratu.”

Tak menggubris perkataannya dan justru memperhatikan kulitnya yang begitu pucat, menimbulkan kecurigaan dalam benak Ayu Shita.

“Anda bukan manusia.”

Jika orang lain mungkin tidak akan menyadarinya, tetapi ini Ayu Shita, yang sedari kecil sudah melihat hal-hal tak kasat mata di luar logika. Dia bisa membedakan manusia dan roh.

Lelaki itu tertawa. Bukan tawa yang mengerikan, melainkan tawa bahagia yang tersirat akan kegelian.

Makhluk yang aneh.

Tapi tak ada yang lebih aneh dari kalimat yang diucapkannya.

“Sudah lama sekali aku menunggumu.” Dia tersenyum. “Akhirnya aku bertemu denganmu, permaisuriku.”

Kekasih Sang RatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang