Part 18

7.8K 509 1
                                    

Happy reading!!

***

Syifa keluar dari mobil, bersamaan dengan Azam yang segera berjalan ke bagasi, mengambil koper milik Syifa.

"Sini kopernya," pinta Syifa yang dibalas gelengan tegas oleh Azam.

"Saya kuat, bahkan untuk gendong kamu sekalipun."

Tanpa menunggu Syifa merespons ucapannya, Azam berjalan mendahuluinya.

Mengetuk pintu sembari mengucap salam, membuat beberapa orang yang ada di dalam menjawabnya.

"Ya Allah, sudah sampai? Ayo masuk-masuk," ajak Maryam, Ummah dari Syifa sembari memeluk putri tercintanya.

"Gimana kabar kamu, Nak? Baik, kan?" Maryam masih terus menempeli putrinya, bahkan saat sampai di ruang tamu, dimana semua berkumpul.

Azam, pun hanya mengikuti mereka dari belakang, tidak bersalaman karena yang Azam tahu, Ummah Maryam adalah wanita yang sangat erat menggenggam ilmu agama.

"Jalannya lancar, Zam? Enggak ada halangan, kan?" tanya Abdullah saat putranya sudah duduk di tengah antara dia dan sang istri.

"Lancar kok, Bi. Cuma tadi penumpangnya agak sulit diajak kompromi," kekeh Azam sambil melirik ke arah Syifa yang kini sudah duduk di sebelah Abahnya, Kiai Abidin.

Kiai Abidin sontak tertawa pelan, merangkul pundak putrinya. "Maafkan Syifa ya, Azam. Dia memang tidak pernah dekat sama laki-laki, jadi susah."

Azam tersenyum. "Enggak apa, Bah. Azam justru kagum sama Syifa, karena begitu hebat menjaga harga dirinya."

"Oh iya, kalau gitu, kita makan dulu aja, atau mau berunding dulu, baru nanti makan?"

"Rundingan aja dulu, Bah. Soalnya Azam ada urusan setelah ini."

"Loh, kalau gitu enggak ikut makan, dong?" timpal Maryam.

"Enggak apa, Ummah. Azam bisa makan di luar, makan di sininya kapan-kapan aja, kalau sudah jadi menantu."

Semua tertawa, Azam ini memang sosok yang cukup humoris, jadi tak pernah canggung untuk berinteraksi dengan siapapun.

"Jadi gimana? Menurut kamu, baiknya seperti apa, Zam?" tanya Abidin mulai serius.

Azam melirik Syifa yang sejak tadi menunduk di tengah kedua orang tuanya.

"Saya terserah Syifa, Abah. Kalau dia mau ta'aruf, khitbah, atau langsung nikah juga boleh aja."

Seluruh atensi sontak beralih pada Syifa yang tampak gugup.

"Bagaimana, Syifa?" Ummah Maryam bertanya sambil mengusap kepala putrinya.

Syifa menoleh ke arah Ummahnya. "Apa Mas Azam adalah seseorang yang ingin dijodohkan dengan Syifa, dulu?"

"Bukan, dia Azam, adik dari Nizam. Dulu, Abah ingin menjodohkan kamu dengan Nizam, karena Abah pikir dia sudah cukup matang untuk menikah. Tetapi, karena Nizam sudah memiliki pilihannya sendiri, mau tidak mau Azam yang menggantikannya. Abah ingin sekali menjadi keluarga bersama Abi Abdullah, jadi tolong turuti kemauan Abah. Lagi pula, Azam itu seusia dengan kamu," jelas Kiai Abidin dengan suara lembut.

Gus Kutub [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang