Part 29

7K 492 6
                                    

Happy reading!!

***

Rombongan sudah hampir berangkat, kini Azam dan keluarga sudah berkumpul di halaman ndalem. 

Kebanyakan di sana para laki-laki menggunakan koko atau gamis, begitupun para perempuan. Karena pernikahan kali ini antara Gus dan Ning, sehingga islaminya sangat kental dan jarang menggunakan pakaian formal seperti batik.

Nizam, pun sama sudah menggunakan koko putih, sarung dan peci hitam. Senada dengan pakaian yang Nazma kenakan, gamis putih dan jilbab hitam, dengan corak sederhana.

"Azam, nanti ikut mobil Abang aja," kata Nizam yang diangguki oleh sang adik, yang memang sejak tadi terus berada di dekatnya.

Laki-laki dengan kemeja putih berlapis jas hitam dan sarung hitam itu, terlihat sangat gugup. Dari awal tingkahnya yang tidak tenang, berdiri dengan gusar, tangannya yang saling bertautan satu sama lain.

Setelah dirasa siap semua, barulah mereka naik ke mobil masing-masing. Azam ada di kursi belakang sendirian, sedangkan Nizam bersama Nazma di depan.

"Bismillah, Zam. Semua akan baik-baik aja, enggak usah gugup. Tenang, jangan terlalu gelisah. Kalau kamu terlalu gugup, nanti yang ada kamu kesulitan mengingat kalimat ijabnya."

"I-iya, Bang." Azam menarik dan membuang nafasnya beberapa kali. Ia sudah cukup tenang, dalam hati tak hentinya melantunkan sholawat pada Sang Nabi dan berdoa memohon ridha Sang Ilahi, berharap akan kelancaran acaranya kali ini.

Tak butuh waktu lama, mereka sampai di lokasi pernikahan. Di sebuah masjid besar yang letaknya tidak jauh dari rumah Kiai Abidin. Di sana sudah tampak ramai tamu undangan yang mayoritas dari kalangan Ustaz dan Ustazah.

"Ayo, turun," ajak Nizam saat Azam hanya diam tak berkutik.

Azam menatap Abangnya dengan memelas. "Bang, takut."

Nizam berdecak pelan, beralih menatap istrinya yang terkekeh menatap Azam.

"Kamu turun dulu, sayang. Samperin Umi, ya?"

Nazma menurut, ia segera turun dari mobil dan berjalan menghampiri Ibu mertuanya yang juga baru turun dari mobil.

"Sekarang, mau turun atau Abang seret?"

Azam tak menjawab, lagi-lagi ia menatap Nizam memelas.

"Kamu itu sudah mau nikah, Zam. Kalau begini ceritanya, gimana mau jadi pemimpin rumah tangga? Gimana caranya kamu menjaga istri kamu, menjadi pelindung untuk dia. Kamu mau, dicap jadi laki-laki pengecut hanya karena takut berhadapan dengan orang banyak? Di sana calon istri kamu sudah menunggu, kamu tega?"

Azam menelan ludah. Tatapannya kembali keluar, menatap orang-orang yang mungkin bingung mencari calon mempelai laki-laki yang belum terlihat, di saat keluarganya sudah hadir.

Azam menarik dan membuang nafas berat. Ia menguatkan hati dan dirinya untuk bisa melewati acara ini dengan baik.

Ia kemudian menatap Abangnya yang kini menyorot dingin, mungkin kesal karena tingkahnya ini.

"Maaf, Bang. Azam akan keluar sekarang." Tanpa menunggu lama, Azam segera membuka pintu, dan diikuti Nizam yang tersenyum lega.

Azam kembali menoleh ke arah Nizam  yang berdiri di sampingnya, dibalas tepukan penyemangat dari Nizam.

"Bismillah, kamu pasti bisa. Niatkan semuanya karena Allah." Nizam berbisik tepat di samping telinga Azam, yang membuat senyum laki-laki itu terukir. "Kamu langsung ke Abi, Abang mau nyamperin Umi dan yang lain."

Gus Kutub [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang