1. Prolog

20.1K 2K 232
                                    


"Kebakaran! Kebakaran!"

"Tolong selamatan rumah saya."

"Ya Allah, bagaimana ini! Rumah kami..."

"Ambil air dari sungai! Ambil sekarang."

Jeritan para warga kampung daun membuat Angi berlari kencang menembus malam, seketika saja langit gelap berubah merah menyala. Napas Angi berhembus cepat seraya menatap api yang mulai melahap rumah-rumah warga.

Angi tertegun. Papan nama Kampung Pelangi tergeletak di tanah, terinjak-injak oleh para warga yang bergegas ke sungai, mengambil air untuk menyelamatkan rumah mereka.

"Ya Allah, apa yang sebenarnya terjadi?" Angi berucap lirih.

Angi menarik salah satu warga yang berlari melewatinya. "Pak Soleh. Apa yang terjadi? Darimana asal apinya?"

Pak Soleh menggelengkan kepala. Wajahnya hitam berjelaga. "Nggak tau Neng, tiba-tiba saja api membakar pemukiman kampung pelangi. Air! Saya harus mengambil air," beritahunya dan berlari menuju sungai.

Jantung Angi serasa diremas saat mendengar jeritan dari seorang Ibu di salah satu rumah yang terbakar. Bu Rahma mencoba masuk tapi dihalangi warga.

"Tolong anak saya, Pak! Selamatkan anak saya. Dia masih di dalam, Irham masih di dalam rumah," jerit bu Rahma, sangat memilukan.

"Jangan masuk Bu Rahma! Bahaya."

"Astagfirullah, bagaimana ini! Apa tidak ada air untuk memadamkan api?"

Angi berlari menuju rumah yang terbakar. Meskipun para warga menahan dan meneriakinya, tapi Angi tidak peduli. Dia melepaskan diri dan masuk ke dalam rumah bu Rahma, coba mencari anaknya yang tertinggal.

Asap pekat langsung menerpa paru-paru, asap kebakaran membuat Angi langsung terbatuk-batuk. Dia berjalan dengan mantap menuju sebuah kamar saat mendengar jerit tangis bayi yang menyayat hati.

"Kamu di mana sayang? Irham?" panggil Angi.

Dia mencari di antara kabut asap yang membuat matanya perih. Sulit untuk melihat. Panas dari api membuat napasnya semakin sesak. Sering kali, bara memercik dan menyentuh kulit, sehingga Angi merintih kesakitan.

"Ya Allah," pekik Angi saat pergelangan tangannya mengenai percikan api. Langsung terlihat kemerahan.

Angi terdiam sejenak. Rumah ini diambang kehancuran. Kalau dia tidak menemukan sang bayi sekarang, dia akan mati terbakar.

Jeritan tangis bayi semakin keras. Angi segera masuk ke kamar di ujung ruangan, menembus kepulan asap. Dia mencari dan akhirnya...

Angi menemukannya.

Irham, anak laki-laki berumur 8 bulan berada di dalam keranjang bayi. Menangis ketakutan.

Angi lekas mendekat.

"Iya. Iya. Nggak papa sayang. Kak Angi di sini. Kak Angi pasti membawa Irham keluar."

Angi melepas sweater, menyelimuti tubuh Irham kemudian menggendongnya. Bayi itu memeluk Angi erat, sangat jelas ketakutan.

"Kita keluar sekarang, mama menunggu di luar. Irham bakal baik-baik saja sama Kak Angi." Angi menenangkan Irham dengan menepuk punggungnya.

Angi keluar kamar.

Asap semakin pekat, merah api menyala membuat matanya perih. Langit-langit rumah mulai runtuh dan Angi bergegas menuju pintu keluar.

"ANGI! ANGI! ANGI!"

Sebuah suara memanggil namanya, berteriak keras mengatasi kegaduhan yang terjadi di depan rumah. Angi mengenali suara itu dan sosoknya berlari masuk ke dalam rumah.

"ANGI!" teriaknya lagi.

"PAK LURAH! SASTRA!" panggil Angi balik saat orang yang menyusulnya tampak di depan mata. "AKU DI SINI."

"Ya Allah Angi, kenapa kamu senekad ini! Ayo cepat keluar. Rumah ini akan hancur," suruh lelaki bernama Sastra. Dia mengulurkan tangannya pada Angi.

Namun.

Langit rumah seketika runtuh.

Api berkobar membara, membakar hingga tak tersisa.

Dan satu nama dipanggil dengan pilu, dengan rasa takut kehilangan.

"ANGI!"

Bersambung...

Sastra Untuk Pelangi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang