Kedua kaki Angi yang tak mengenakan sandal, mencoba mengejar brankar yang dibawa cepat oleh petugas medis. Pandangan Angi tidak beralih pada lelaki yang terbaring di atas brankar, dengan kedua mata terpejam, tubuh penuh luka, hidungnya tersumpal masker oksigen sedangkan tangannya terkulai lemas, menggantung di udara, di pinggir brankar.
Airmata Angi menyeruak tiada henti, membasahi kedua pipinya.
"Sastra, Sastra, Sastra," panggilnya, lirih.
Angi terus mengiringi laju brankar yang sekarang berjalan di koridor menuju ruang UGD Puskmesmas Desa Daun. Namun meskipun Angi memanggil nama Sastra puluhan kali, dia tidak mendapatkan jawaban dari lelaki itu, bahkan seulas senyuman yang biasa Sastra berikan padanya, kini tak ada lagi.
Rasa sakit Angi tak terungkap.
Terlebih lagi ketika Angi mengingat Sastra terluka karena menolongnya.
Dan rasanya seperti mimpi buat Angi.
Karena baru pagi tadi, Angi melihat Sastra tertawa bersama warga di pos kampling, membahas hal-hal sederhana tentang kapan panen masal diadakan, menyapa ramah para emak yang berkumpul di salah satu saung, lalu bicara dengan penuh semangat pada Udin soal memancing di empang desa. Sastra begitu bahagia waktu itu, dia tidak hentinya tertawa, namun sekarang Angi harus menyaksikan lelaki itu terbaring, dengan napasnya tersenggal, satu-satu.
Tidak! Angi rasanya tidak bisa menerima kenyataan ini.
"SASTRA!" teriak Angi.
Angi mengejar brankar Sastra dan menangis tak terkendali. "Kamu harus bangun, kamu harus buka mata kamu. Ingat janji kamu? Kita berjanji bertemu besok."
Angi semakin hancur berantakan karena laki-laki itu tidak menanggapi perkataannya.
"Mbak, tolong minggir dulu. Kami akan membawanya ke UGD," ujar salah satu petugas medis pada Angi. Dia menyeret brankar lebih cepat. Namun Angi tidak ingin terpisah dengan Sastra, masih berharap melihatnya membuka mata.
"Sastra dengar aku! Kamu udah janji sama aku ketemu besok. Dan kamu juga janji nggak ninggalin aku sebelum aku yang nyuruh kamu pergi," isak Angi, tangisnya semakin tak terkendali.
Hanya satu reaksi dari Sastra, namun cukup membuat Angi semakin hancur, saat melihat dari sudut mata Sastra, cairan bening jatuh berlinang dan membasahi pipinya.
"Aku benci kamu! Kamu dengar?" seru Angi. "AKU AKAN MEMBENCI KAMU KALAU KAMU NINGGALIN AKU! AKU MOHON BANGUN DAN BUKA MATA KAMU." Angi memohon dengan sangat. Kedua kaki Angi lemas, dan dia dorong ke samping hingga akhirnya jatuh berlutut di lantai. Angi merasa tak berdaya, hanya bisa menatap Sastra yang dibawa pergi oleh petugas medis untuk masuk ke dalam UGD.
Mereka menutup pintu masuk
Dan Angi hanya bisa menatap kaca buram.
Angi sekarang seperti mengulang masa lalunya ketika SMA, saat mengantar Sastra yang waktu itu dia temukan bersimbah darah di jalan, bahkan hujan yang sama turun kembali. Dalam hati Angi bertanya; apakah dia juga akan mengalami rasa sakit kehilangan yang sama? Kehilangan dua kali.
Angi bangkit berdiri dan berjalan terhuyung, dia duduk di koridor, menyandarkan punggungnya di tembok seraya menekukkan kedua lututnya. Untuk beberapa saat, Angi menghabiskan waktunya dalam penantian penuh harapan, sesekali dia membenamkan wajah di balik lipatan lengan, kemudian mendongak menatap pintu UGD, di mana di balik kaca buram itu, Sastra berada.
Angi mengeluarkan ponsel dari kantong bajunya. Petugas medis tadi menitipkan ponsel Sastra.
Dia menatap ponsel itu dengan pandangan suram. Menyentuh layar ponsel di mana tampaklah sebuah langit biru berhiaskan pelangi. Bahkan hanya melihat lockscreen dari ponsel Sastra saja sudah membuat airmata berlinang kembali di pipi Angi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sastra Untuk Pelangi [End]
SpiritualTentang gadis bernama Angi yang mempunyai mimpi mengubah kampung halamannya menjadi desa wisata yaitu Kampung Warna-warni. Dia dipertemukan dengan Lurah muda yang baru dilantik bernama Sastra Lurah Sastra mengejutkan Angi dengan klaim sepihak yang m...