18. Senja Dan Pelangi

7K 1K 170
                                    


Sastra duduk termenung di teras rumah, kedua matanya menatap gelang berinisial SP seraya menghela napas berat. Hati Sastra dipenuhi rasa sesal karena Angi mengetahui kebenaran tentang pertemuan mereka dari percakapannya dengan Satrio.

Masih terngiang begitu jelas di benak Sastra, bagaimana Angi memberikan tatapan dingin setelah dia tahu Sastra adalah remaja yang dia tolong beberapa tahun lalu namun berpura-pura mati.

"Aku benci kamu..."

Cuma kalimat itu yang terucap.

Angi tidak memberikan kesempatan pada Sastra untuk menjelaskan. Dia berlari masuk ke dalam rumah lalu mengunci pintu, membuat Udin sekeluarga bingung mendengar tangisan Angi dari dalam kamar.

Tepukan lembut Sastra rasa di pundak, dia mendongak dan melihat Cecep duduk di sampingnya.

"Gimana Angi?" tanya Sastra, menatap penuh harap pada hansip itu.

"Masih nangis dan mengurung diri dalam kamar. Mending Pak Lurah nyerah. Angi nggak bisa ditemui hari ini," beritahunya.

"Tapi saya belum menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tentang kronologi insiden yang menimpa saya beberapa tahun lalu. Angi harus mendengarnya langsung dari saya." Sastra menghela napas dengan gusar.

"Besok saja dijelaskan. Angi pengen sendiri, dia nggak mau ketemu Pak Lurah." Lalu Cecep menatap Sastra tak berkedip, antara takjub dan juga takut. "Tapi Alhamdulillah, Sastra yang Angi ceritakan telah tiada, ternyata masih hidup dan duduk di hadapan saya sekarang."

"Angi cerita ke kamu?" tanya Sastra.

Cecep memeluk kedua lutut dan menatap langit malam. Udara terasa lebih menyegarkan setelah hujan turun. Sedangkan orkestra alam, suara kodok sungai yang bersahutan dan suara jangkrik berderik di pepohonan menjadi pelengkap suasana malam di Desa Daun.

"Tentu saja cerita. Semua orang tau tentang Sastra yang meninggalkan luka kedua untuk Angi, luka yang membuat Angi yang melarikan diri ke Jakarta akhirnya memilih kembali ke Desa Daun," jawab Cecep.

"Luka kedua? Melarikan diri ke Jakarta, maksudnya?" ulang Sastra, bingung.

Cecep menoleh ke belakang, pada rumah Udin yang biasanya gaduh karena pertengkaran namun hari ini terdengar lebih sepi. Sang kepala keluarga, Mahmudin memilih membaca koran di sofa, Halimah menenangkan Angi yang menangis di kamar sedangkan Maura dan Randi bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Walaupun mata mereka terlihat sembab mendengar tangisan Angi yang terdengar sampai keluar rumah.

"Benar. Pak Lurah menjadi kehilangan Angi yang kedua. Saat Angi berusaha bangkit dari keterpurukannya, kematian Pak Lurah malah membuatnya hancur lagi."

Cecep menghela napas berat.

"Tapi paling nggak setelah kejadian itu Angi tersadar kalau dia bisa kehilangan kapanpun. Dia nggak bisa melarikan diri karena dunia ini tentang kehilangan dan meninggalkan. Nggak ada yang abadi, ya kan?" sambung Cecep berkata bijak, walaupun senyum sedih menghiasi bibir.

"Saya masih nggak ngerti, Mang. Tentang luka kedua yang kamu bicarakan." Sastra menanggapi dengan kerutan dalam di kening.

Mata Cecep menatap gelang berinisial SP yang Sastra pegang. "Pak Lurah tau nama inisial SP di gelang itu? Gelang yang ada di pergelangan Syam dan Angi?" tanyanya.

"SP? Bukannya itu inisial nama mereka? Syam dan Pelangi?" jawab Sastra.

Cecep menggeleng dan tersenyum. "Bukan. Pak Lurah pernah liat foto keluarga Pak Udin? Foto yang ada di ruang tamu?"

"Pernah. Foto mereka sekeluarga, kan? Pak RT Udin dengan keempat..." Sastra menjeda perkataannya lama. Dia menatap Cecep dengan ekspresi takut.

"Benar. Empat anak." Cecep mengiyakan. "SP bukan inisial dari Syam dan Pelangi. Melainkan inisial dari Senja dan Pelangi..."

Sastra Untuk Pelangi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang