4. Kisah Cinta Maura

10.7K 1.4K 112
                                    

"ANGI JADI BERANGKAT KAGAK NIH? KALAU SIANG BAKAL PANAS BANGET NGECAT PAGAR TEMBOKNYA!"

Suara cempreng Cecep membuat Angi bergegas keluar kamar. Dia mengenakan sepatunya dengan cepat.

"Iya, tunggu Mang." Angi mendekati kedua orang tuanya yang duduk di sofa ruang tamu. "Mah, Beh, Angi ke pemukiman di bawah bukit, pengen cat pagar tembok."

"Emang warga di sana sudah pada setuju?" tanya Udin. Seperti biasa pagi harinya dihabiskan untuk menonton FTV.

Angi memperlihatkan selembar kertas. Tanda tangan dari dari puluhan warga di sudut barat kampung daun, tepatnya di bawah bukit yang didominasi pemukiman kumuh.

"Mereka setuju kok. Jadi jangan khawatir. Angi pergi dulu," pamitnya menyalami tangan Halimah lalu tangan Udin.

"Nggak ketemu sama Pak Lurah, kan?" selidik Udin, matanya menatap tajam.

"Enggak lah!"

"Ketemu juga papa, Ngi," sahut Halimah. "Mama dengar Pak Lurah tinggal sendirian. Mama khawatir, makannya nggak teratur. Nanti kamu antarkan masakan mama untuk Pak Lurah, yah? Takutnya dia jatuh sakit..."

"Suruh Mang Cecep aja! Jangan Angi," tolak Angi kesal.

Dia masih tidak melupakan kunjungan Sastra beberapa hari lalu. Bukannya menyelesaikan masalah malah menambah masalah. Sekarang kedua orangtuanya mengira Angi punya hubungan spesial dengan Lurah itu.

"Ayo Cep, kita pergi. Entar kesiangan," ajak Angi sebelum dicecar pertanyaan lagi oleh kedua orangtuanya.

Angi berjalan dengan langkah cepat menyelusuri jalan di desa daun yang sepi di pagi hari. Para warga pergi ke ladang, mengurus padi yang mulai menguning dan memasuki masa panen.

"Jadi gimana sama Pak Lurah?" tanya Cecep.

"Gimana apanya?"

"Hubungan Angi sama Pak Lurah."

"Yang nggak gimana-gimana. Kenal aja enggak. Gila tuh orang. Aku yakin cuma akalan dia supaya aku nggak fokus sama proyek warna-warni," tuduh Angi.

"Tapi sepertinya Pak Lurah dukung deh," ujar Cecep, merendengi langkah Angi yang cepat. "Kemarin saya ceritain proyek kampung warna-warni ke Pak Lurah, soal niat kita yang pengen menjadikan desa daun sebagai objek pariwisata..."

"Lalu tanggapannya?"

Cecep mengembangkan senyum lebar. Memperlihatkan deretan gigi putih bersih namun sayang ada potongan cabe di gigi depannya.

"Tanggapan Pak Lurah, Mang Cecep! Kok malah senyum sih?" kesal Angi.

Cecep menunjuk ke wajahnya.

"Ya gini tanggapannya! Masa saya suruh Lesti si penyanyi dangdut yang tanggapin. Pak Lurah senyum dengar proyek warna-warni. Dari ekspresinya sih, Pak Lurah kayaknya suka. Dia bilang mau nolongin kita."

"Nggak mungkin dia mau nolongin." Angi sangsi.

"Siapa tau, kan? Kalau Pak Lurah cinta mati sama Angi. Apapun pasti dia lakukan. Salah satunya membujuk warga kampung. Apalagi Angi kan calon bininya Pak Lurah."

Angi tertawa sarkas. "Calon bini? Jangan bilang Mang Cecep percaya omongan Pak Lurah? Dia itu buaya! Aku yakin pak Lurah coba mengalihkan perhatian kita dari proyek warna-warni."

"Mana saya tau cowok berkedok buaya gimana? Selama ini kan saya temanan sama manusia, bukannya makluk jadi-jadian. Tunggu! Itu bukannya Neng Maura?" Cecep tiba-tiba menarik lengan siku Angi, menghentikan langkahnya.

"Di mana?"

"Iya bener Neng Maura," tunjuk Cecep pada satu sosok perempuan di bawah pohon. "Neng Maura lagi sama Mas Fahri."

Sastra Untuk Pelangi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang