Cahaya matahari masuk dengan bebas dari jendela terbuka dan menyapa kamar yang selama seminggu lebih ini telah mengurung seorang gadis bernama Angi dalam tembok persegi. Wajah Angi pucat, jejak-jejak air mata tampak jelas di kedua pipi yang merona merah sedangkan kelopak matanya bengkak disertai tatapan sayu sayu. Tampaknya hari ini Angi lelah meluapkan kesedihan dan serta kekecewaan, sehingga akhirnya dia lupa cara tersenyum.
Angi merasa seperti memutar kembali waktu. Berada di posisi hancur saat mencoba menerima luka kehilangan Senja Arkatama, saudara kembarnya yang tiada. Dan kini dia mengalami sakit yang sama dan luka yang sama. Luka itu tak pernah sembuh, dan kini ditorehkan kembali semakin dalam.
Dalam hati Angi terus meragukan kemampuannya, "Bagaimana caranya untuk bangkit dan bahagia setelah ini?"
Berbaring menyamping di tempat tidur, tubuh Angi diterpa hamburan cahaya matahari pagi yang hangat sedangkan matanya menatap layar ponsel. Dia merindukan pesan dari satu lelaki bernama Sastra.
Namun pesan terakhir yang Angi selalu baca adalah....
"Kita ketemu lagi ya Ngi, di pintu masuk desa."
Janji itu tidak pernah ditepati oleh lelaki itu.
Sastra pergi.
Dia meninggalkan Angi.
Menyisakan penyesalan di hati Angi karena belum sempat mengucapkan selamat tinggal.
Sebuah pesan akhirnya masuk pada benda pipih yang Angi genggam sedaritadi. Pesan itu berasal dari Caca, sahabatnya.
"Angi."
"Mau jalan keluar nggak hari ini?"
"Gue beliin seblak, lo mau makan berapa mangkok pun, gue bayar."
"Mau yah?"
Angi tidak menggerakkan jari-jemarinya untuk membalas pesan Caca, seperti puluhan pesan sebelumnya, dia biarkan begitu saja. Matanya hanya menatap pesan Caca yang selalu mencoba memberikan penghiburan. Namun kali ini tampaknya kesabaran Caca sudah habis.
"MAU LO APASI NGI?"
"GUE NGGAK NGERTI SAMA SEKALI!"
"APA LO BENARAN MAU ANCUR?"
"LO MAU MATI? GITU? MAU NYUSUL DIA?"
"SEDANGKAN DIA PENGIN LO HIDUP DAN UMUR PANJANG!"
"PERLU GUE JAMBAK JUGA RAMBUT LO!"
"TUNGGU DI SANA! GUE KE RUMAH LO SEKARANG."
Pesan Caca terhenti. Angi menunggu, tidak ada lagi bubble yang masuk, memberitahukan dengan pasti kalau gadis itu sekarang sedang berlari ke rumahnya dan akan membuat perhitungan karena Angi tidak membalas puluhan pesannya.
Ponsel Angi bergetar.
Kali ini pesan dari Syam yang berada di Kota Jakarta. Dia pergi ke kota besar untuk menemui Sastra. Dan sebelum kepergiannya ke Jakarta, Syam mengajak Angi ikut pergi bersamanya, namun Angi menolaknya. Dia tidak sanggup. Hatinya belum siap untuk menerima semuanya.
"Angi seminggu yang lalu gue nyekar."
"Dia ngadu sama gue, lo nggak nyekar ke makamnya. Padahal dia bilang kangen sama lo. Dia nungguin elo, Ngi. Tanyain lo kapan datang."
Angi mendengkus dalam hati berkata, "Emang kamu indigo Syam, bisa ngomong sama orang mati?"
Namun lagi, dia tidak punya tenaga untuk mengetikkan sebuah balasan.
Sebuah foto makam yang ditaburi bunga hadir di layar ponsel, dengan dua buket bunga di atas pusaranya. Melihat itu! Jantung Angi seperti ditusuk oleh ujung belati tajam. Saat tertampar lagi oleh sebuah realita bahwa belahan jiwanya terbaring di tanah, tidur dalam peristirahatan yang terakhir dalam kedamaian, tanpa perlu menahan rasa sakit atau tanpa perlu memohon kepada dokter dan berujar, "Aku capek, aku ingin pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sastra Untuk Pelangi [End]
SpiritualTentang gadis bernama Angi yang mempunyai mimpi mengubah kampung halamannya menjadi desa wisata yaitu Kampung Warna-warni. Dia dipertemukan dengan Lurah muda yang baru dilantik bernama Sastra Lurah Sastra mengejutkan Angi dengan klaim sepihak yang m...