21. Mimpi Senja

5.6K 884 154
                                    


Caca menghela napas lelah, dia duduk di pinggir tempat tidurnya untuk waktu lama, memperhatikan Angi yang salat kemudian berdoa dalam keadaan menangis. Tangis Angi yang sesenggukan memenuhi kamar dan itu sudah berhari-hari. Angi menginap di rumah Caca dengan alasan tidak ingin bertemu Sastra yang sekarang mengontrak di samping rumahnya.

Caca bangkit berdiri, mengambil satu kotak tisu dari atas meja lalu duduk di samping Angi.

"Besti, sudah selesai belum curhatnya ke Allah?" tanya Caca. Seharusnya jangan diucapkan. Karena tangis Angi kemudian semakin menjadi-jadi.

"Caca, Sastra kejam banget sama gue hari ini, hati gue sakit," rengek Angi dan memeluk Caca.

"Ya Allah Ngi, udahan dong nangisnya. Lama-kelamaan lo bisa berubah jadi panda. Tuh nggak cantik lagi, kan? Jelek banget!" Caca menangkup kedua pipi Angi. Mata Angi bengkak. Hidungnya merah belum lagi ingusnya keluar tak henti.

Caca prihatin sekaligus ingin tertawa.

"Sastra bilang kalo gue nggak bisa terima dia hadir lagi, dia minta gue anggap dia mati seperti dulu," cerita Angi dengan terbata-bata. "Kan jahat banget omongannya? Dia nggak tau trauma apa yang dia tinggalin buat gue."

Caca menyerahkan lembaran tisu terakhir yang dia punya pada Angi. Dia harus menenangkan sahabatnya yang menangis selama berjam-jam semenjak dia pulang dari kampung warni-warni.

"Aku benci Sastra, aku benci Pak Lurah." Angi menambahkan seraya membersit ingusnya dengan tisu.

"Bencinya sama Sastra atau Pak Lurah? Pilih salah satu, Ngi." Caca membenarkan mukena Angi yang miring. "Walaupun mereka adalah orang yang sama, tapi mereka hadir dengan cara berbeda. Sastra adalah masa lalu lo, cowok yang lo kira mati dan memberikan luka tapi Pak Lurah adalah masa sekarang, cowok yang memberi harapan dan membantu lo dalam proyek kampung warna-warni..."

"Tetap saja mereka jahat Ca. Mereka bohongin gue," sikukuh Angi.

Caca menghela napas berat lagi.

"Bukannya Pak Lurah sudah jelasin sama lo alasan dia berbohong waktu itu?" balasnya. "Dan walaupun kebohongannya itu keterlaluan banget, tapi nggak tau kenapa gue memakluminya, karena ini menyangkut keselamatannya waktu itu. Lagipula! Dia nggak tau perihal masalah itu Ngi. Pak Lurah koma. Yang merencanakan itu semua adalah keluarganya." Caca mengingatkan.

"Ta-tapi tetap saja..."

"Tetap saja apa? Oke, lo kecewa Pak Lurah bohongin lo tapi seharusnya lo senang ternyata Pak Lurah selamat dari insiden berdarah itu. Dan bahwa bertahun-tahun dia terus cariin lo, sampai akhirnya Allah mempertemukan kalian di Desa Daun. Gini ya Ngi, dengarin gue..." Caca menangkup wajah Angi. Menatap paras Angi yang terbalut mukena motif bunga-bunga.

"Sebenarnya elo itu bukan sedang terluka tapi lebih tepatnya bingung. Karena lo sudah terbiasa kehilangan dan mengubur semua kenangan orang yang ninggalin lo. Tapi waktu kenangan itu balik lagi. Elonya yang nggak siap menerimanya kembali..."

"Psikiater lo. Ujian sekolah aja lo nggak lulus," sahut Angi. Dengan menangis.

"Ujian sekolah sama ujian perasaan itu beda, dodol!" Caca menyentil kening Angi. "Atau gini aja deh. Lo singkirkan masalah pribadi lo sebentar. Gimana perasaan lo ke Pak Lurah, kebencian dan kemarahan lo, simpan bentar. Karungin! Karena lo punya tanggung jawab besar yang harus lakukan yaitu kampung warni-warni."

Angi menundukkan kepala.

"Lo pengen nyerah sama Kampung warni-warni?" tanya Caca tegas.

"Nggak tau, gue bingung."

Sastra Untuk Pelangi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang