Kecanggungan menjalari suasana saat Syam ditinggal berdua saja dengan Sastra di ruang perawatan. Hanya suara EKG dari monitor jantung yang kabel-kabelnya terhubung ke dada Sastra yang menemani, bunyi 'bib' itu menyela di antara kesunyian yang tercipta. Syam terus menggaruk kepalanya lalu beralih menatap layar ponsel berkali-kali, berusaha menghubungi Marcep yang tidak menongolkan wajahnya sedari tadi. Syam yakin hansip itu ketiduran di pos hansip, menitipkan Sastra yang bandel dan disuruh puluhan kali untuk tidur malah duduk melamun, bersandar di tepian ranjang sembari memegangi tasbihnya.
"Mending lo tidur Sas, bentar lagi adik lo ngejemput lo. Kondisi lo harus stabil dalam perjalanan ke Jakarta entar," ujar Syam lagi pada Sastra yang pandangannya menjurus pada jendela.
"Ada banyak waktu untuk tidur," sahut Sastra.
Ini yang membuat Syam canggung. Perkataan Sastra tidak mengenakan di hati. Syam tidak suka. Rasanya bertahun-tahun yang lalu Syam mengalami hal yang sama, saat dia menghadapi lelaki berbalut pakaian biru pasien, duduk di atas ranjang dengan mata melamun yaitu sahabat terbaiknya yang telah tiada, Senja Arkatama.
Entah kenapa Syam melihat Senja pada diri Sastra.
Begitu mirip.
"Jam berapa sekarang?" tanya Sastra.
"Mau jam tujuh pagi," beritahu Syam, melirik jam yang menggelantung di dinding dan matahari pun perlahan masuk dari jendela. "Sebentar lagi gue yakin ambulan lo datang. Mereka pasti mengalami kendala dalam perjalanan, makanya terlambat datang. Tapi gue hubungi tadi, mereka sudah ada di jalan masuk kabupaten. Jadi kita siap-siap. Barang lo yang di rumah bisa gue kirim entar. Terpenting elo perlu dirawat di rumah sakit yang fasilitasnya memadai."
Sastra tersenyum mendengar omongan panjang-lebar dari Syam yang awalnya dia kenal sebagai lelaki dingin dan irit bicara.
"Cepat sembuh! Balik lagi ke desa Daun dalam keadaan sehat. Posisi lo sebagai lurah bisa lo dapatkan lagi. Warga sini sayang sama lo, gue yakin mereka pasti meminta elo menjabat lagi." Syam mengambil tas di lantai berisikan beberapa pakaian Sastra yang baru saja dibawakan Marcep sebelum dia menghilang. "Lo pakai jaket atau gimana?" tanyanya menambahkan mengeluarkan jaket hitam tebal.
Namun Sastra tidak menjawab, pandangannya masih mengarah pada jendela, jatuh pada kilau embun yang menggantung di rimbun pepohonan yang tumbuh lebat sekitar jendela. Membaui pagi dengan angin sejuk setelah malam yang dingin.
Syam meletakkan jaket tebal di samping tempat tidur Sastra.
"Dan soal kampung warna-warni. Lo jangan mengkhawatirkannya, karena gue pastikan membangun itu lagi. Kebakaran itu menghanguskan beberapa rumah. Beruntung! Karena pemadam kebakaran datang tepat waktu. Jadi elo jangan memusingkan kampung wisata warna-warni, bakal tetap berjalan kok," tambah Syam, berharap memberikan ketenangan pada Sastra yang kali ini menganggukan kepala.
"Dan..."
Syam menghela napas berat, kepalanya tertunduk. Salah satu alasan kenapa dia merasa sangat canggung bersama Sastra itu karena lelaki itu masih bisa tersenyum pada orang yang mempunyai relasi kuat dengan orang yang membuatnya celaka. Pada ayahnya Athalla, pada Rio. Mereka berdua hampir melenyapkan Sastra dari dunia tapi dengan entengnya Sastra menganggap itu tak pernah terjadi dan meminta Syam untuk menemani selagi menunggu ambulan datang menjemput.
"Gue minta ma..."
"Bisa jagain Angi, Syam." Sastra memotong perkataan Syam segera.
Kernyit dalam terbentuk di kening Syam. Dia tidak suka kata "menjaga." Syam rasanya sangat muak diminta seseorang yang menyerah dan pergi dari dunia. Memintanya untuk menjaga Angi dan membantunya bangkit lagi dari keterpurukan. Dulu Senja dan kali ini Sastra. Dalam hati Syam membatin, apalagi ini? Kenapa terulang kembali? Terus datang padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sastra Untuk Pelangi [End]
SpiritualTentang gadis bernama Angi yang mempunyai mimpi mengubah kampung halamannya menjadi desa wisata yaitu Kampung Warna-warni. Dia dipertemukan dengan Lurah muda yang baru dilantik bernama Sastra Lurah Sastra mengejutkan Angi dengan klaim sepihak yang m...