2. Angi Si Anak Tengah

17.1K 1.7K 170
                                    


"ANGI BANGUN!"

Sebuah teriakan keras terdengar, membuat sang pemilik nama—yang baru saja keluar dari kamar mandi—langsung terperanjat. Suara itu selalu jadi pengawal harinya.

"PELANGI!"

"Iya Mah, Angi sudah bangun," sahut sang pemilik nama.

Dia Pelangi. Nama kecilnya, Angi. Di Desa Daun, dia panggil neng Angi. Atau si pengangguran. Atau si beban keluarga, si anak tengah, atau si penambah angka pengangguran di Indonesia.

"NYARAP!" teriak sang ibunya lagi.

"IYA BENTAR BU RT. ANGI LAGI GANTI BAJU," sahut Angi.

Dia terpaksa menongolkan kepala dari balik pintu kamar, melihat sang ibu sedang sibuk di dapur sembari memegang pisau. Terlihat sangat menakutkan.

"Bentar lagi Ibunda..."

Angi melembutkan suara. Saat ibunya melototkan mata karena dia membalas dengan teriakan.

"Sepuluh menit. Ada di meja makan!" titah sang Ibu.

"Iya, Hajah Halimah." Angi mengiyakan, memanggil nama lengkap ibunya lalu menutup pintu. "Sepuluh menit? Oke! Ini hari yang baru, lo pasti, Ngi! Lo pasti bisa mewujudkan mimpi lo."

Dia mengarahkan pandangannya pada dinding kamar, ada blue print yang ditempel berdampingan dengan lukisan pedesaan dengan rumahnya dicat warna cerah. Lukisan itu tampak lusuh, termakan usia. Sedangkan judul tercetak jelas di atas lukisan itu yaitu 'Kampung Warna-Warni'.

"TODAY IS MY DAY!" Angi melentangkan kedua lengannya bahagia. "Akhirnya Lurah tua bangka itu pensiun juga. Akhirnya proyek gue nggak ada yang halangin lagi."

Angi dengan senang hati menuju radio antik warisan engkong, jari-jemarinya menari di lemari, memilih kaset yang berakhir pada band favoritnya. Sheila on 7.

Tanpa ragu, Angi memasukkan kaset dan menekan tombol play. Tepat banget! Lagu kesukaannya langsung memenuhi kamar. Sebuah pertanda baik untuk memulai hari.

"Dan kau bisikan kata cinta..."

"Kau tlah percikan rasa sayang.."

"Pastikan kita seirama"

"Walau terikat rasa hina..."

Angi bernyanyi, menggiringi lagu "Kita" seraya menari-nari ringan, dia menuju jendela kamar, membukanya lebar lalu menghirup udara pagi.

Oke!

Jangan harap dia menemukan oksigen yang sejuk di perkebunan teh. Aroma yang dia dapat adalah pencampuran wangi molto—emak tetangga menjemur pakaian—dan juga aroma ikan asin yang digoreng mas Joko yang sudah lama menduda.

But it's okay!

Mimpi Angi ada di sana.

Gadis itu menunjuk pada pemukiman kumuh di bukit Desa Daun. Dia ingin menjadikan pemukiman itu sebagai objek wisata. Angi ingin mengubah kehidupan perekonomi warga desa Daun menjadi lebih baik.

"Berangkat jualan cilok Mas?" sapa Angi pada Mas Joko yang habis sarapan dengan ikan asin.

"Iya neng Angi. Mari!"

Joko balas menyapa lalu mengayuh sepeda ke sekolah terdekat, tempat biasa dia mangkal. Angi menghela napas berat. Dia menaruh simpati pada Joko yang ditinggal sang istri karena tidak tahan hidup melarat.

Yah di kampung ini!

Yang paling kaya nomor dua adalah babeh. Sebagai juragan ayam, babeh paling diandalkan, mulai dari urusan ke RT-an—karena rata-rata para Bapack di Desa daun buta huruf—sampai jadi supir dadakan karena cuma Babeh yang punya mobil angkot bekas buat ngantar warga sakit ke rumah sakit.

Sastra Untuk Pelangi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang