5. Ancaman Syam

8.7K 1.2K 154
                                    


Cat putih yang lengket mengguyur tubuh Angi, namun tidak di seluruhnya. Sastra melindungi Angi, lelaki itu membungkuk dan menghadapnya. Sastra membiarkan punggungnya tersiram cat dan seragam dinas coklat yang dikenakan seketika basah.

"Astagfirullah, Pak Lurah!"

"Bu Tejo kenapa siram Pak Lurah?"

"Saya nggak sengaja. Pak Lurah saya minta maaf. Saya benaran nggak sengaja," ujar Bu Tejo. Kaleng cat terlepas dari genggamannya saat berseteru dengan Angi dan ikut menyiram Sastra. "Pak Lurah nggak apa-apa, kan?"

Sastra menoleh. Memberikan tatapan dingin tapi cukup membuat para warga takut.

"Kami benaran nggak sengaja Pak Lurah," cicit Bu Tejo menunduk malu.

"Saya tau," sahut Sastra singkat. "Angi, kamu nggak papa? Hapus dulu cat di kening kamu, kalau kena mata bahaya." Dia mengeluarkan saputangan, memberikannya pada Angi.

Namun Angi menepis tangan Sastra dan berdiri dengan cepat. Gadis itu mengepalkan kedua tangan. Airmata membasahi kedua pipi, terlihat sangat marah.

"Saya nggak butuh simpati dari orang munafik seperti Anda. Jujur saja. Pak Lurah kan pelakunya?" cetus Angi.

Sastra berdiri.

"Angi jangan bilang, kamu percaya pesan yang tersebar di grup whatsapp itu dari saya?"

"Apa ada alasan yang bisa membuat saya nggak percaya? Pasti Pak Lurah yang menyebarkan pesan itu dan membuat mereka percaya kalau kampung Warna-warni akan memberikan dampak buruk, seperti yang dilakukan Pak Broto, lurah sebelumnya," tuding Angi.

"Demi Allah, Ngi. Bukan saya orangnya, lagipula itu bukan nomor saya," bela Sastra.

"Pak Lurah bisa menggunakan nomor lain," bantah Angi.

"Kalau saya nggak suka dengan proyek kamu, maka sejak dulu saya langsung menolaknya di depan kamu, saya nggak perlu menyebarkan pesan ke grup warga dan menjelek-jelekkan kamu. Itu bukan saya. Saya nggak akan pernah melakukan hal itu!" tekan Sastra tegas.

"Dan kalian dengar itu?" Sastra berbalik, menatap para warga yang menundukkan kepala. "Pesan yang kalian terima itu bukan dari saya, melainkan dari oranglain yang menggunakan nama saya. Dan saya yakin dia ingin mengadu domba saya dengan Angi dan juga kalian para warga. Jadi tolong berhati-hati."

"Jadi bukan dari Lurah Sastra?" ulang Bu Tejo.

Sastra menggeleng. "Bukan."

Para warga bertukarpandangan dengan bingung dan melontarkan pertanyaan satu sama lain.

"Lalu pesan ini dari siapa dong?"

"Nomornya nggak bisa dihubungi, nggak nyambung lagi."

"Apa dari orang iseng?"

"Pasti warga Desa Daun juga. Soalnya tau tentang Kampung Warna-warni."

"Nanti saya akan mencaritahu," sela Sastra. "Orang yang mengirim pesan itu pasti melakukannya dengan sengaja. Untuk membuat keributan dan warga berselisih paham."

Cecep mendekati Sastra dengan khawatir, panik melihat seragamnya yang kotor karena cat putih.

"Pak Lurah nggak papa? Duh bagaimana ini? Sepatu Pak Lurah juga ikutan kena. Barang branded nih! Mahal! Puluhan juta." Cecep kesal lalu mendelik kepada warga.

"Kami nggak sengaja Cep! Kami nggak tau kalau Pak Lurah bakal lindungin Angi," ujar Bu Tejo dengan penyesalan.

"Ya tentu aja belain. Angi kan calon bini, eh. Maksud saya salah satu warga Desa Daun," ralatnya saat Angi menatapnya geram.

Sastra Untuk Pelangi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang