19. Mimpi Dan Realita

5.5K 915 154
                                    


Angi menengadahkan wajahnya dan melihat langit merah senja menyapa Desa Daun kembali. Seketika saja senja ini mengingatnya pada seseorang. Pada lelaki yang terlahir bersamanya di waktu senja dan berpulang ketika senja pula.

"Senja kamu liat ini? Senja terlihat lebih merah daripada biasanya," ujar Angi.

Gadis itu menundukan kepala dan menatap gundukan tanah di hadapannya, sebuah nisan kayu terpahat sebuah nama.

Senja Arkatama.

"Apa kamu suka?" tambahnya lagi, bicara pada sepi.

Sudah lama Angi tidak mengunjungi saudara kembarnya namun seperti biasa makam Senja tampak rapi. Angi yakin adik mereka Randi yang membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh di atas makam. Si bungsu itu juga tidak lupa memetik bunga wedelia—bunga kesukaan Senja—lalu dia letakan di atas makam.

"Pasti Randi kesini lagi, ya kan? Dia ngomong apa? Minta kamu bangkit lagi dari kubur?" tanya Angi seraya terkekeh, tawa getir yang penuh luka. "Tuh bocah bikin aku sakit kepala, tau nggak? Dia bilang mumun aja bisa hidup lagi, kenapa abang nggak bisa?"

Angi menggelengkan kepala.

"Randi masih kesulitan menerima kamu pergi. Dia kewalahan mengisi kekosongan di rumah kita. Tapi jangan khawatir. Aku yakin, suatu hari Randi pasti terbiasa."

Tangan Angi mengelus kuburan tempat di mana belahan jiwanya terbaring di peristirahatan terakhirnya.

"Nggak kedinginan, kan?" tanya Angi.

Seketika saja pandangannya mengabur, digenangi airmata.

"Nggak sakit lagi, kan?"

Tangan Angi mengelus gundukan tanah dengan penuh kasih sayang. Ingin sekali dia memeluk raga Senja, namun yang tiada tak mungkin kembali. Dia harus menerima kenyataan itu.

"Kamu kangen aku nggak sih? Aku kangen kamu setiap hari loh..."

Angin sore bertiup dengan lembut, menimbulkan suara gemerisik merdu dari pepohonan bambu yang mengelilingi TPU. Sedangkan rerumputan kering yang dibakar oleh penjaga makam memberikan aroma menenangkan.

Seketika suasana ini membuat Angi terdampar lagi pada satu kenangan. Pada hari dia kehilangan Senja. Hari di mana kembarannya itu menyebut nama Pelangi untuk terakhir kali.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Angi mendapati Senja duduk di teras rumah sedangkan kedua matanya menatap langit merah tak berkedip. Tubuh Senja sangat kurus. Kanker darah sudah menggerogoti tubuhnya selama enam bulan, membuat kedua pipinya yang dulu berisi sekarang tirus. Senja terlihat pucat dan bernapas saja tampak sulit.

"Angi kemari," panggil Senja. Dia menyadari keberadaan Angi dan memasang senyum lebar untuknya.

Angi menuruti permintaan Senja dan duduk di sampingnya. "Mama bilang Senja masuk ke dalam rumah. Istirahat karena besok ke rumah sakit. Kemoterapi lagi."

Senja tersenyum, dia menunjuk langit. "Tapi aku nggak mau melewatkan senja merah ini. Soalnya aku nggak tau kapan aku bisa melihatnya lagi..."

"Senja nggak boleh ngomong kayak gitu," ucap Angi, hampir saja dia pecah dalam tangisan. "Kalau mama dengar, mama bisa marah. Apalagi Kak Maura, Senja nggak mau kan diceramahin Kak Maura? Berjam-jam bikin sakit kepala."

Sastra Untuk Pelangi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang