15. Orang Di Masa Lalu

5.6K 856 109
                                    


Angi membaringkan tubuhnya di atas kasur seraya mengeluarkan keluh panjang. Hari ini terasa begitu melelahkan, mulai dari insiden penyiraman rumah di kampung warna-warni hingga kepanikan warga saat Sastra sakit.

Namun dari rentetan peristiwa yang terjadi hari ini, ada satu hal yang sangat mengusik Angi yaitu saat Sastra jatuh pingsan ke pangkuannya. Ekspresi sakit yang diperlihatkan lelaki itu mengingatkan Angi pada satu orang di masa lalu. Pada seseorang yang meninggalkan luka di hati dan menjadi salah satu sesal karena Angi tidak bisa menyelamatkannya.

Angi berbaring menyamping, kedua matanya langsung mengarah pada jendela kamarnya yang basah terterpa hujan di malam hari. Angin berderu, menggoyangkan pepohonan. Suasana kelam ini seketika saja mengingatkan Angi pada satu malam di mana dia pernah kehilangan...

"Mereka memiliki nama yang sama," gumam Angi. "Tapi nggak mungkin dia Sastra yang aku kenal," bantahnya keras seraya memejamkan mata.

Dalam gelap, bayangan masa lalu menghampiri, saat dia masih mengenakan seragam putih abu-abu yang basah dan berlumuran darah.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Pelangi aku ingin pulang. Tolong bawa aku pulang," pinta Sastra sedangkan airmata jatuh berlinang dari sudut mata. "Aku belum sempat meminta maaf dengan keluargaku. Aku belum sempat berpamitan..."

Namun Sastra tidak bisa melanjutkan perkataannya, dia tersedak dan tiba-tiba saja kesulitan bernapas. Genggamannya di tangan Angi mengendur dan monitor ICU memperlihatkan garis lurus.

"Sastra? SASTRA!" panggil Angi dengan suara gemetar.

Detak jantung Sastra terhenti bersamaan dengan ambulan yang menghentikan lajunya tepat di depan pintu UGD. Brankar segera diturunkan, petugas medis panik, salah satu di antara mereka bahkan menaiki brankar dan terus memberikan pertolongan pertama pada Sastra.

"Detak jantung tidak ada! Pasien tidak sadarkan diri!" teriak petugas medis melapor pada dokter yang menyambut kedatangan mereka.

"Bawa dia masuk secepatnya!" seru dokter seraya membuka pintu. "Maaf, kamu tidak boleh masuk, sebaiknya kamu menunggu diluar." Dia menahan Angi yang hendak mengikuti Sastra.

"Tapi dok..."

"Jangan khawatir, kami akan menolong teman kamu." Dokter itu menepuk pundak Angi lalu menutup pintu.

Angi tidak punya pilihan selain menuruti, dia berjalan dengan langkah gontai kemudian duduk di tepian lorong rumah sakit. Angi menatap kedua kakinya dan baru menyadari telah kehilangan salah satu sepatu, baru menyadari kalau kakinya terluka dan mengeluarkan darah.

"Sastra pasti selamat." Angi menyakinkan diri. Dia menatap pergelangan tangannya, di mana ada gelang pelangi dengan inisial SP. "Aku nggak akan kehilangannya seperti aku kehilangan kamu. Aku janji, nggak membiarkan itu terjadi lagi..."

"Tolong dia ya Allah. Hamba mohon selamatkan dia," pinta Angi lirih. Dia membenamkan wajahnya di balik lipatan lengan.

Angi tidak tau berapa lama dia menunggu. Tidak tau berapa lama dia berdoa pada Tuhan, duduk di lorong rumah sakit dengan seragam basah sedangkan tubuhnya menggigil kedinginan. Angi tidak beranjak dari tempatnya sama sekali.

Sastra Untuk Pelangi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang