Tatapan Cecep tidak beralih dari Sastra, meskipun tangannya sibuk dengan sapu, membersihkan lantai rumah dinas yang akan ditinggali lelaki itu selama menjabat sebagai Lurah.
Kedua mata Cecep terus memperhatikan gerak-gerik Sastra, membuatnya tidak nyaman.
"Mang Cecep ada yang pengin ditanyain? Daritadi liatin saya terus." Sastra akhirnya menanyai. Merasa risih. "Ada yang salah sama penampilan saya?"
Atensi Cecep terus tertuju pada Sastra, mulai dari mengangkat kardus dari pick-up, mengeluarkan barang sampai menjemur kasur di halaman.
"Setelah kejadian tadi siang. Semua yang Pak Lurah lakukan selalu salah di mata saya," terang Cecep, jujur.
"Kok saya salah?"
"Ya iyalah salah. Asal klaim anak perawan orang sebagai calon istri, di depan umum lagi. Ini bukan korea, Pak! Ini desa daun. Untung mereka nggak nyeret Pak Lurah ke KUA," sembur Cecep berapi-api.
Sastra menghela napas gusar. Dia sendiri juga terkejut dengan sikapnya yang spontanitas, mengumumkan Angi sebagai calon istrinya.
"Ck! Iya juga sih. Saya merasa bodoh banget sekarang," ujar Sastra dan duduk di sofa. Dia menengadahkan wajah menatap plafon rumah yang dipenuhi sarang laba-laba. "Kenapa saya tadi nggak bisa menahan diri? Saya yakin Angi pasti kena masalah karena saya."
"Baru nyadar Pak Lurah! Tapi ngomong-ngomong boleh cerita nggak?" Cecep meletakkan sapu lalu duduk di samping Sastra. "Pak Lurah kenal Angi darimana? Teman kuliah Angi?"
"Bukan."
"Teman kenalan di aplikasi jodoh?"
"Bukan."
"Atau jangan-jangan mantan Neng Angi? Jangan bilang Pak Lurah gagal move-on lalu nyusul Neng Angi ke Desa daun untuk balas dendam? Karena sakit hati, ya kan?" terka Cecep dengan ekspresi dramatis.
Sastra menatap Cecep dengan lelah.
"Bukan ketiga-tiganya Mang. Saya bukan teman kuliah, bukan kenal di aplikasi jodoh dan juga bukan mantan Angi."
"Lalu kenal Angi darimana? Kalau nggak kenal, nggak mungkin Pak Lurah bilang Angi calon istri."
Sastra terdiam.
Dia melayangkan pandangannya pada langit mendung di Desa Daun. Seketika saja membawanya pada kenangan menakutkan tujuh tahun yang lalu...
Saat Sastra teringat pada gadis berseragam putih abu-abu yang menemukannya tergeletak di aspal dengan wajah dan tubuh bersimbah darah. Sastra pikir saat itu adalah kematiannya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
[Tujuh Tahun Yang Lalu]
Tubuh Sastra serasa mati rasa. Dia hanya berbaring terlentang di aspal dingin, menatap langit kelabu, menunggu Tuhan mengambil nyawanya. Satu yang dia sesali, dia belum sempat berpamitan dengan kedua orangtuanya. Dengan mama, dengan papa dan juga dengan kedua adiknya. Sangat menyesali karena berjanji pulang ke rumah dengan selamat tapi nyatanya Sastra pulang dalam keadaan tak bernyawa.
"Maafkan Sastra," ucapnya dengan helaan napas yang berat. "Maaf Sastra harus pergi lebih dulu."
Di waktu Sastra ingin menyerah, tiba-tiba...
KAMU SEDANG MEMBACA
Sastra Untuk Pelangi [End]
SpiritualTentang gadis bernama Angi yang mempunyai mimpi mengubah kampung halamannya menjadi desa wisata yaitu Kampung Warna-warni. Dia dipertemukan dengan Lurah muda yang baru dilantik bernama Sastra Lurah Sastra mengejutkan Angi dengan klaim sepihak yang m...