Rumah Mahmudin lebih ramai daripada biasanya, semakin larut malam maka semakin banyak pula orang yang berdatangan. Tenda berwarna biru didirikan dan menguasai sepanjang gang. Sedangkan bangku-bangku plastik telah tersusun rapi untuk mengitari meja persegi yang di pinjam dari sekolah terdekat.
Menambah keriuhan, anak-anak berlarian, membuat para pekerja yang sedang mengatur meja dan kursi berdecak kesal karena kaki mereka terinjak. Dan paling menikmati malam istimewa ini adalah kang sound system. Dia menaikkan volume tinggi saat memutar lagu kesukaannya berulang-ulang. Sedangkan orang yang menjadi calon pengantin. Ralat! Menjadi calon pengantin di bulan depan yaitu...
Sastra.
Sedang duduk di teras rumah. Di tengah keramaian dia sedang mengisi bungkus ketupat dengan beras. Dia berjongkok menghadap dua ember besar berisikan bungkus ketupat dan beras, sedangkan benda pipih mengapit di antara pipi dan telinganya.
Sastra terlihat sangat kesal.
"ARGH! GUE NGGAK DENGAR! KERASIN SUARA LO," teriak Sastra. Dia tidak bisa menyembunyikan kejengkelannya. Sesekali lirikan matanya mengarah pada satu orang yang turut hadir membantu mendirikan tenda yaitu Syam.
"KAPAN MAMA SAMA PAPA PULANG DARI SINGAPORE? MASA BELUM PULANG
JUGA! MANG CECEP BISA DIPELANIN NGGAK SIH TUH LAGU?" dia menambahkan dengan berteriak pada Marcep yang tak acuh dan lanjut berjonget maju-mundur dengan dua jempol digoyangkan.
"Astagfirullah hal adzim. Kan Tio udah bilang dari tadi. Ratusan kali. Bulan depan. Pas pernikahan Kakak sama Angi. Mereka pulang," ulang Tio dengan suara keras.
"KELAMAAN!"
"Ngebet banget ya kak, pengin nikahin Angi," sahut Tio menghela napas berat. "Sabar! Calm down."
"GIMANA GUE BISA TENANG! MUSUH GUE MAKIN HARI MAKIN GLOWING DI MATA ORANG-ORANG," seru Sastra kesal. Menarik baskom yang berisikan bungkus ketupat ke dekatnya lalu mengisinya lagi dengan beras. "ANGI BISA BERALIH HATI SAMA SYAM. KENAPA SIH, MAMA SAMA PAPA PAKAI ACARA TRAVELING SEGALA?"
"Setiap orang punya hak untuk traveling termasuk Papa sama Mama. Entar kedahuluan mereka punya anak dibandingkan kamu, Kak." Tio mengakak tertawa.
"Nggak lucu. Mood gue hancur. Gue tutup dulu. Assalamualaikum."
Sebelum Tio menjawab salamnya. Sastra lebih dulu mematikan ponselnya. Dia melempar benda pipih itu ke rerumputan, di tempat di mana dia beberapa jam terakhir duduk mengisi bungkus ketupat seorang diri. Marcep yang seharusnya menemani malah pergi ke kerumunan warga dan ikut menyandungkan suara lagu dangdut dengan suara seraknya.
"Perlu aku bantuin Sastra? Mumpung Mas lagi nggak sibuk."
Sebuah suara menyela Sastra yang sedaritadi mengomel dalam gumaman. Sastra mengangkat kepala dan melihat Fahri duduk dihadapannya. Lelaki berkulit sawo matang itu tersenyum ramah lalu mengisi bungkus ketupat dengan cepat.
"Nggak usah Mas. Mending Mas Fahri pulang aja ke rumah. Besok kan nikahan," ujar Sastra menarik baskom ke arahnya.
"Nggak papa, aku bantuin bentar. Kalau soal mengisi ketupat ini mah kerjaan aku dulu. Waktu di warung makan." Kemudian Fahri melirik Sastra dengan ekspresi cemas. "Dan soal pernikahan aku sama Maura. Maaf ya."
"Maaf kenapa Mas?"
"Karena kami lebih dahulu menikah. Padahal kamu duluan yang melamar Angi. Seharusnya pernikahan kamu sama Angi yang seharusnya di adakan hari ini. Aku nggak tau kalau Babeh memajukan tanggal pernikahan kami." Fahri memberikan senyuman tidak enak kepada Sastra yang menggeleng keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sastra Untuk Pelangi [End]
SpiritualTentang gadis bernama Angi yang mempunyai mimpi mengubah kampung halamannya menjadi desa wisata yaitu Kampung Warna-warni. Dia dipertemukan dengan Lurah muda yang baru dilantik bernama Sastra Lurah Sastra mengejutkan Angi dengan klaim sepihak yang m...